elitKITA.Com // BANDUNG - Polisi mengungkapkan motif Adimas Firdaus alias Resbob menghina suku Sunda saat livestreaming demi saweran dan viewers bertambah. Mereka menyebut motif ekonomi menjadi alasan utama tersangka menghina suku Sunda. Kapolda Jawa Barat Irjen Rudi Setiawan mengatakan profesi dari tersangka Resbob yaitu seorang livestreamer. Ia mengatakan, tersangka membuat tayangan menghina suku Sunda dan mendapat saweran.
"Apa yang menjadi pekerjaan yang bersangkutan yang kita tersangkakan Resbob ini adalah seorang livestreamer, kita ketahui tayangan ini mendulang saweran sejumlah uang. Ini dari pemeriksaan yang menjadi motivasinya melakukan ujaran kebencian," ucap dia, Rabu (17/12/2025).
Ia mengatakan, tersangka Resbob menyadari ujarannya bakal menjadi viral. Selain itu, viewer dan yang menyawer bakal banyak sehingga mendapatkan keuntungan. "Sudah memenuhi unsur dengan mentransmisikan tayangan itu dan dapat keuntungan," kata dia.
Polisi resmi menetapkan Adimas Firdaus alias Resbob pelaku ujaran kebencian di media sosial yang viral resmi ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan status tersangka dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang cukup yaitu keterangan saksi dan ahli.REPUBLIKA.CO.ID

Polisi resmi menetapkan Adimas Firdaus alias Resbob pelaku ujaran kebencian di media sosial yang viral resmi ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan status tersangka dilakukan berdasarkan dua alat bukti yang cukup yaitu keterangan saksi dan ahli.REPUBLIKA.CO.ID

Peran Pemerintah dalam memberikan informasi dan edukasi.
Berikut adalah uraian mendalam mengenai peran berbagai pihak dalam memberikan informasi dan edukasi mengenai regulasi yang melarang tindakan provokasi berbau SARA di dunia digital:
1. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) – Dahulu Kominfo
Sebagai kementerian yang meregulasi ruang siber di Indonesia, Kemkomdigi memiliki peran sentral melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika).
Sosialisasi UU ITE: Lembaga ini bertanggung jawab menyebarluaskan pemahaman mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (Perubahan Kedua atas UU ITE). Pasal 28 ayat (2) secara eksplisit melarang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Literasi Digital: Melalui gerakan "Siberkreasi", kementerian ini memberikan informasi kepada konten kreator bahwa mencari keuntungan ekonomi tidak boleh dilakukan dengan cara melanggar hukum. Anda dapat memantau panduan literasi digital mereka melalui laman Literasi Digital Indonesia.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) – Siber Polri
Polri tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang menangkap tersangka, tetapi juga memiliki fungsi preventif.
Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber): Melalui akun media sosial resmi seperti @Cyber_Polri, kepolisian secara rutin memberikan informasi mengenai jenis-jenis konten yang dapat dipidana. Mereka memberikan edukasi bahwa motif ekonomi (seperti mengejar saweran) bukanlah alasan pemaaf atas tindakan pidana penghinaan suku.
Polisi Virtual (Virtual Police): Institusi ini bertugas memberikan peringatan langsung di media sosial jika menemukan konten yang berpotensi melanggar hukum sebelum konten tersebut menjadi kasus pidana yang besar.
3. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) - Kementerian Hukum
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, BPHN memiliki mandat fungsional untuk mengedukasi masyarakat mengenai hukum pidana.
Penyuluhan Hukum: BPHN memberikan informasi bahwa selain UU ITE, tindakan penghinaan suku juga bersinggungan dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Mereka mengedukasi masyarakat bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dilindungi dari kebencian berbasis identitas kesukuan. Informasi penyuluhan hukum mereka dapat diakses di portal BPHN.
4. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di Tingkat Daerah
Mengingat kasus ini sensitif terhadap stabilitas wilayah (khususnya di Jawa Barat), Kesbangpol di tingkat Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Bandung Barat berperan dalam:Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Memberikan informasi bahwa harmoni antar-suku adalah fondasi negara. Mereka bertugas memberikan sosialisasi kepada komunitas lokal dan organisasi kepemudaan tentang pentingnya menjaga lisan dan perilaku di media sosial guna mencegah konflik horizontal.
5. Komisi Informasi (KI) dan KPI (Jika Melalui Penyiaran)
Meskipun livestreaming biasanya masuk ranah siber, namun jika konten tersebut didistribusikan melalui kanal publik, Komisi Informasi membantu dalam menjamin masyarakat mendapatkan informasi yang benar mengenai batasan hak berekspresi. Hak berekspresi tidak bersifat absolut dan dibatasi oleh hak orang lain serta ketertiban umum.
Peran Sosialisasi Siber Polri
Siber Polri (melalui Direktorat Tindak Pidana Siber) telah menjalankan peran sosialisasi dan edukasi secara aktif: Peringatan Rutin: Polri secara konsisten merilis peringatan dan edukasi melalui berbagai platform media sosial resmi mereka (seperti Instagram, X/Twitter, dan situs web) mengenai konsekuensi hukum dari penyebaran konten SARA, ujaran kebencian, dan hoaks. Mereka sering menggunakan studi kasus nyata untuk menunjukkan bahwa pelanggaran di ruang siber dapat berujung pada penangkapan dan proses hukum.
Literasi Digital dan Virtual Police: Polri, bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, berkolaborasi dalam program literasi digital. Mereka juga mengaktifkan mekanisme virtual police yang memberikan teguran kepada pengguna media sosial yang terindikasi melanggar UU ITE, sebagai langkah preventif sebelum kasus menjadi delik aduan atau ditindaklanjuti secara pidana.
Media Massa: Pesan-pesan dari Siber Polri sering dikutip oleh media massa nasional saat terjadi kasus viral, sehingga informasi mengenai larangan konten SARA tersebar luas.
Mengapa Pelanggaran Masih Terjadi?
Fakta bahwa kasus seperti Adimas Firdaus masih terjadi tidak otomatis berarti sosialisasi gagal total. Ada beberapa faktor kompleks yang memengaruhinya:Motif Ekonomi yang Kuat: Seperti disebutkan dalam kasus tersebut, motif ekonomi (mencari saweran dan viewers) sering kali mengalahkan nalar dan kesadaran hukum. Beberapa individu dengan sengaja mencari sensasi kontroversial, berharap viralitas akan menghasilkan uang, meskipun mereka tahu risikonya. Mereka melakukan kalkulasi risiko bahwa keuntungan yang didapat mungkin sepadan dengan konsekuensi hukum (atau berharap tidak tertangkap).
Partisipasi Publik dan Pelaporan: Penangkapan Adimas Firdaus justru menunjukkan bahwa sistem berjalan: masyarakat yang teredukasi melaporkan konten tersebut, dan aparat penegak hukum (Polri) merespons laporan tersebut dengan cepat. Ini membuktikan bahwa informasi tentang larangan tersebut telah sampai ke masyarakat awam.
Sifat Ruang Digital yang Luas: Ruang siber sangat luas, dan tidak mungkin satu lembaga dapat mengawasi setiap livestreaming yang terjadi setiap saat. Efektivitas penindakan sangat bergantung pada laporan masyarakat dan patroli siber yang terfokus pada konten yang sudah viral atau dilaporkan. (berbagai sumber ; edit.A'hendra)
Berikut adalah uraian mendalam mengenai peran berbagai pihak dalam memberikan informasi dan edukasi mengenai regulasi yang melarang tindakan provokasi berbau SARA di dunia digital:
1. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) – Dahulu Kominfo
Sebagai kementerian yang meregulasi ruang siber di Indonesia, Kemkomdigi memiliki peran sentral melalui Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika).
Sosialisasi UU ITE: Lembaga ini bertanggung jawab menyebarluaskan pemahaman mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (Perubahan Kedua atas UU ITE). Pasal 28 ayat (2) secara eksplisit melarang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Literasi Digital: Melalui gerakan "Siberkreasi", kementerian ini memberikan informasi kepada konten kreator bahwa mencari keuntungan ekonomi tidak boleh dilakukan dengan cara melanggar hukum. Anda dapat memantau panduan literasi digital mereka melalui laman Literasi Digital Indonesia.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) – Siber Polri
Polri tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang menangkap tersangka, tetapi juga memiliki fungsi preventif.
Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber): Melalui akun media sosial resmi seperti @Cyber_Polri, kepolisian secara rutin memberikan informasi mengenai jenis-jenis konten yang dapat dipidana. Mereka memberikan edukasi bahwa motif ekonomi (seperti mengejar saweran) bukanlah alasan pemaaf atas tindakan pidana penghinaan suku.
Polisi Virtual (Virtual Police): Institusi ini bertugas memberikan peringatan langsung di media sosial jika menemukan konten yang berpotensi melanggar hukum sebelum konten tersebut menjadi kasus pidana yang besar.
3. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) - Kementerian Hukum
Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, BPHN memiliki mandat fungsional untuk mengedukasi masyarakat mengenai hukum pidana.
Penyuluhan Hukum: BPHN memberikan informasi bahwa selain UU ITE, tindakan penghinaan suku juga bersinggungan dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Mereka mengedukasi masyarakat bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dilindungi dari kebencian berbasis identitas kesukuan. Informasi penyuluhan hukum mereka dapat diakses di portal BPHN.
4. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di Tingkat Daerah
Mengingat kasus ini sensitif terhadap stabilitas wilayah (khususnya di Jawa Barat), Kesbangpol di tingkat Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Bandung Barat berperan dalam:Pendidikan Wawasan Kebangsaan: Memberikan informasi bahwa harmoni antar-suku adalah fondasi negara. Mereka bertugas memberikan sosialisasi kepada komunitas lokal dan organisasi kepemudaan tentang pentingnya menjaga lisan dan perilaku di media sosial guna mencegah konflik horizontal.
5. Komisi Informasi (KI) dan KPI (Jika Melalui Penyiaran)
Meskipun livestreaming biasanya masuk ranah siber, namun jika konten tersebut didistribusikan melalui kanal publik, Komisi Informasi membantu dalam menjamin masyarakat mendapatkan informasi yang benar mengenai batasan hak berekspresi. Hak berekspresi tidak bersifat absolut dan dibatasi oleh hak orang lain serta ketertiban umum.
Peran Sosialisasi Siber Polri
Siber Polri (melalui Direktorat Tindak Pidana Siber) telah menjalankan peran sosialisasi dan edukasi secara aktif: Peringatan Rutin: Polri secara konsisten merilis peringatan dan edukasi melalui berbagai platform media sosial resmi mereka (seperti Instagram, X/Twitter, dan situs web) mengenai konsekuensi hukum dari penyebaran konten SARA, ujaran kebencian, dan hoaks. Mereka sering menggunakan studi kasus nyata untuk menunjukkan bahwa pelanggaran di ruang siber dapat berujung pada penangkapan dan proses hukum.
Literasi Digital dan Virtual Police: Polri, bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, berkolaborasi dalam program literasi digital. Mereka juga mengaktifkan mekanisme virtual police yang memberikan teguran kepada pengguna media sosial yang terindikasi melanggar UU ITE, sebagai langkah preventif sebelum kasus menjadi delik aduan atau ditindaklanjuti secara pidana.
Media Massa: Pesan-pesan dari Siber Polri sering dikutip oleh media massa nasional saat terjadi kasus viral, sehingga informasi mengenai larangan konten SARA tersebar luas.
Mengapa Pelanggaran Masih Terjadi?
Fakta bahwa kasus seperti Adimas Firdaus masih terjadi tidak otomatis berarti sosialisasi gagal total. Ada beberapa faktor kompleks yang memengaruhinya:Motif Ekonomi yang Kuat: Seperti disebutkan dalam kasus tersebut, motif ekonomi (mencari saweran dan viewers) sering kali mengalahkan nalar dan kesadaran hukum. Beberapa individu dengan sengaja mencari sensasi kontroversial, berharap viralitas akan menghasilkan uang, meskipun mereka tahu risikonya. Mereka melakukan kalkulasi risiko bahwa keuntungan yang didapat mungkin sepadan dengan konsekuensi hukum (atau berharap tidak tertangkap).
Partisipasi Publik dan Pelaporan: Penangkapan Adimas Firdaus justru menunjukkan bahwa sistem berjalan: masyarakat yang teredukasi melaporkan konten tersebut, dan aparat penegak hukum (Polri) merespons laporan tersebut dengan cepat. Ini membuktikan bahwa informasi tentang larangan tersebut telah sampai ke masyarakat awam.
Sifat Ruang Digital yang Luas: Ruang siber sangat luas, dan tidak mungkin satu lembaga dapat mengawasi setiap livestreaming yang terjadi setiap saat. Efektivitas penindakan sangat bergantung pada laporan masyarakat dan patroli siber yang terfokus pada konten yang sudah viral atau dilaporkan. (berbagai sumber ; edit.A'hendra)