Jakarta - Indonesia dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia dengan lebih dari 17 ribu pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke.
Sekitar 70 persen wilayah Indonesia berupa laut, menjadikannya ruang strategis yang tidak hanya berfungsi sebagai jalur transportasi dan sumber ekonomi, tetapi juga sebagai benteng utama pertahanan negara.
Dalam konteks pertahanan nasional, laut tidak sekadar dipahami sebagai ruang geografis. Laut merupakan simbol kedaulatan, identitas bangsa, sekaligus arena kepentingan global yang sarat dinamika geopolitik.
Namun, besarnya peran laut tersebut dinilai belum sepenuhnya diiringi oleh tingkat kesadaran maritim masyarakat yang memadai.
Selama ini, laut masih kerap diposisikan sebagai latar belakang pembangunan. Fokus pembangunan nasional lebih banyak bertumpu pada wilayah daratan, sementara laut dipandang sebagai pelengkap atau sekadar sumber daya ekonomi yang bisa dieksploitasi.
Pandangan ini dinilai berpotensi melemahkan sistem pertahanan negara dalam jangka panjang.

Kondisi tersebut menjadi perhatian serius di tengah meningkatnya kompleksitas ancaman di wilayah perairan Indonesia.
Posisi geografis Indonesia yang berada di jalur pelayaran internasional membuat laut nasional menjadi ruang strategis yang dilintasi berbagai kepentingan global. Tanpa kesadaran maritim yang kuat, posisi strategis ini justru bisa menjadi celah kerawanan keamanan.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Achmad Tjachja, menegaskan bahwa kesadaran maritim harus ditempatkan sebagai fondasi utama dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal tersebut disampaikan saat memberikan materi dalam Seminar Nasional perayaan HUT ke-79 Yayasan Hang Tuah yang digelar di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Seminar nasional tersebut diikuti oleh sekitar 130 sekolah dari seluruh Indonesia, serta melibatkan berbagai lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan strategis TNI dan Polri.
Peserta berasal dari Yayasan Kartika Jaya Angkatan Darat, Yayasan Kemala Bhayangkari Kepolisian, serta Yayasan Yasarini Angkatan Udara.
Kehadiran ratusan satuan pendidikan lintas matra ini mencerminkan kuatnya kolaborasi dunia pendidikan dalam menanamkan kesadaran maritim sebagai bagian dari pembentukan karakter kebangsaan dan penguatan pertahanan negara sejak dini.
Menurut Prof. Achmad Tjachja, pertahanan negara tidak bisa hanya bergantung pada kekuatan militer dan alat utama sistem persenjataan.
Pertahanan modern menuntut keterlibatan seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat sipil, dalam memahami dan menjaga ruang laut Indonesia.
“Pertahanan maritim tidak berdiri sendiri. Kesadaran masyarakat bahwa laut merupakan bagian dari identitas dan kedaulatan bangsa justru menjadi benteng pertahanan paling awal,” ujarnya.
Ia menjelaskan, laut Indonesia dilalui oleh jalur perdagangan internasional yang sangat sibuk. Selain kapal dagang, jalur ini juga berpotensi dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas lintas negara yang dapat mengancam stabilitas nasional.
Ancaman tersebut mencakup pelanggaran batas wilayah, penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, hingga kejahatan transnasional.
Dalam situasi seperti ini, Prof. Achmad Tjachja menilai bahwa sistem pertahanan negara tidak boleh bersifat reaktif.
Negara tidak seharusnya hanya bergerak setelah pelanggaran terjadi, tetapi harus mampu mencegah sejak dini melalui penguatan kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya laut.
Ia menekankan bahwa tanpa kesadaran maritim yang memadai, pertahanan negara akan selalu tertinggal satu langkah.
Masyarakat yang memahami nilai strategis laut justru dapat menjadi bagian dari sistem peringatan dini dalam menjaga wilayah perairan nasional.
Prof. Achmad Tjachja juga menyoroti rendahnya literasi bahari, terutama di kalangan generasi muda. Padahal, secara historis Indonesia dikenal sebagai bangsa pelaut yang menjadikan laut sebagai penghubung peradaban, perdagangan, dan kekuatan politik.
“Ironisnya, identitas maritim kita lebih banyak hadir dalam lagu, simbol, dan narasi sejarah, tetapi belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pendidikan dan orientasi hidup masyarakat,” katanya.
Ia menilai sistem pendidikan nasional masih cenderung darat-sentris. Pengetahuan tentang laut, ekosistem pesisir, navigasi, teknologi kelautan, hingga geopolitik maritim belum menjadi bagian utama dalam pembentukan karakter generasi muda. Akibatnya, laut sering dianggap jauh dari kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan Prof. Achmad Tjachja, pertahanan negara modern juga sangat berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Kesejahteraan nelayan dan komunitas pesisir memiliki hubungan langsung dengan stabilitas keamanan laut.
“Ketika masyarakat pesisir sejahtera dan merasa memiliki lautnya, mereka secara alami akan menjadi bagian dari sistem pengawasan wilayah,” ujarnya.
Sebaliknya, jika masyarakat pesisir terpinggirkan dan tidak memperoleh manfaat ekonomi yang adil, potensi kerawanan justru akan meningkat. Kondisi tersebut dapat membuka ruang bagi berbagai aktivitas ilegal di wilayah perairan Indonesia.
Oleh karena itu, Prof. Achmad Tjachja menegaskan bahwa penguatan ekonomi maritim harus berjalan seiring dengan penguatan pertahanan. Ketahanan negara tidak hanya dibangun dari kekuatan militer, tetapi juga dari ketahanan ekonomi dan sosial masyarakatnya.
Ia menyinggung sektor kelautan dan perikanan yang selama ini menjadi penyumbang devisa non-migas yang konsisten.
Dengan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, sektor ini tidak hanya memperkuat ekonomi nasional, tetapi juga mempertegas kehadiran negara di wilayah laut.
Di sisi lain, sektor maritim masih menghadapi tantangan persepsi. Profesi nelayan dan pekerjaan di bidang kelautan kerap dipandang berat, berisiko, dan kurang menjanjikan masa depan. Pandangan ini menjadi salah satu faktor rendahnya minat generasi muda terhadap sektor maritim.
“Padahal sektor maritim saat ini sudah berkembang sangat luas. Ada industri pengolahan, teknologi, riset, logistik, hingga inovasi yang membuka peluang besar bagi generasi muda,” jelasnya.
Menurut Prof. Achmad Tjachja, perubahan cara pandang terhadap laut menjadi hal mendesak. Laut harus diposisikan sebagai ruang masa depan yang menjanjikan, bukan sekadar ruang kerja tradisional. Perubahan narasi ini dinilai penting untuk mendorong keterlibatan generasi muda.
Dalam konteks tersebut, pendidikan kembali menjadi kunci. Pendidikan bahari harus menjadi jembatan antara potensi laut Indonesia dan kemampuan sumber daya manusia untuk mengelolanya secara berkelanjutan. Pendidikan tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk karakter dan cara pandang kebangsaan.
Indonesia saat ini berada dalam fase bonus demografi, di mana mayoritas penduduk berada pada usia produktif. Prof. Achmad Tjachja menilai kondisi ini sebagai peluang besar untuk mendorong transformasi ekonomi dan pertahanan maritim nasional.
Namun, peluang tersebut hanya dapat dimanfaatkan jika ada arah kebijakan yang jelas dan konsisten.
“Laut adalah ruang hidup bersama. Menjaganya bukan hanya tugas negara, tetapi tanggung jawab seluruh elemen bangsa,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Hang Tuah, Fera Muhamad Ali, dalam sambutannya menegaskan bahwa pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi maritim yang sangat besar yang harus didukung oleh generasi muda berwawasan bahari.
“Pendidikan bermutu tidak bisa dibebankan kepada satu pihak saja. Dibutuhkan partisipasi semesta agar cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud secara berkelanjutan,” ujar Fera.
Ia menjelaskan bahwa dunia pendidikan saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks, terutama bagi sekolah swasta.
Keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, serta tuntutan adaptasi teknologi menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi bersama.
Meski demikian, Yayasan Hang Tuah terus berupaya memberikan kontribusi nyata melalui penguatan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
Selain menerapkan kurikulum nasional, Yayasan Hang Tuah secara konsisten mengembangkan kurikulum kebaharian sebagai muatan lokal di seluruh satuan pendidikan di bawah naungannya.
“Kurikulum kebaharian bukan sekadar tambahan materi, tetapi bagian dari pembentukan karakter dan jati diri generasi muda sebagai bangsa maritim,” tegas Fera.
Melalui seminar nasional ini, Yayasan Hang Tuah menegaskan komitmennya untuk terus berperan aktif dalam mencetak generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan berwawasan bahari.
Perayaan HUT ke-79 ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat komitmen bersama dalam membangun pendidikan nasional yang berorientasi pada masa depan bangsa.(eko)



