BANDUNG – Di balik hiruk-pikuk kehidupan kota, masih ada kelompok masyarakat yang berjuang keras untuk sekadar diterima. Tiwi (nama samaran), seorang waria yang telah lama beraktivitas di wilayah Bandung, membagikan kisah hidupnya tentang perjuangan identitas, diskriminasi sosial, hingga sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam wawancara yang berlangsung santai namun penuh makna, Tiwi memperkenalkan dirinya sebagai warga asli daerah yang sejak lama berpindah-pindah tempat tinggal. Ia menuturkan bahwa berpindah wilayah bukan pilihan mudah, melainkan karena keterbatasan penerimaan sosial di banyak tempat.
“Tidak selamanya kita bisa setahun penuh tinggal di satu wilayah. Kadang sulit cari kos, sulit diterima,” ujar Tiwi.
Menyadari Identitas Sejak Remaja
Tiwi mengungkapkan bahwa kesadaran akan identitas dirinya sebagai waria muncul sejak usia 13–14 tahun. Ia menegaskan bahwa hal tersebut bukan karena pengaruh pergaulan, melainkan perasaan batin yang sudah dirasakan sejak kecil.
“Kita menyadari punya gen yang berbeda. Kita juga sudah berusaha jadi ‘normal’ menurut masyarakat, tapi itu tidak bisa dipaksakan,” katanya.
Penolakan Keluarga dan Tekanan Sosial
Tantangan terbesar dalam hidup Tiwi datang dari lingkup keluarga dan masyarakat. Awalnya, keluarga tidak dapat menerima identitasnya dan berharap ia bisa “kembali ke kodrat”. Penolakan tersebut berujung pada konflik yang membuat Tiwi harus keluar dari rumah.
“Momen paling berat itu saat saya memilih kebebasan berekspresi, tapi justru diusir dari keluarga,” ungkapnya dengan nada lirih.
Di lingkungan sosial, diskriminasi juga kerap terjadi. Mulai dari ejekan, pelecehan verbal, hingga penolakan saat mencari tempat tinggal.
“Kita sering diusir bukan karena berbuat negatif, tapi karena fisik,” katanya.
Sulitnya Akses Pekerjaan
Dalam aspek ekonomi, Tiwi mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan tetap. Saat ini, ia bertahan hidup dengan membuka usaha kecil di bidang salon. Namun, kesempatan kerja di sektor formal hampir tertutup baginya.
“Sering ditolak kerja hanya karena identitas dan fisik. Skill dan pendidikan tidak pernah dilihat,” ujarnya.
Menurut Tiwi, banyak waria akhirnya terjebak pada pekerjaan informal bahkan pekerjaan berisiko, bukan karena pilihan, tetapi karena keterpaksaan.
Harapan pada Pemerintah dan Masyarakat
Tiwi berharap pemerintah dan dunia usaha dapat membuka akses pekerjaan yang adil tanpa diskriminasi. Ia menekankan pentingnya penilaian berbasis kemampuan dan pendidikan, bukan penampilan fisik.
“Minimal lihat skill dan pendidikannya. Jangan lihat fisiknya dulu,” tegasnya.
Baginya, hidup layak berarti memiliki pendapatan tetap, diterima di lingkungan sosial, dan bebas dari diskriminasi. Namun, hingga kini, ia menilai perlindungan hukum bagi kelompok minoritas masih lemah dan belum dirasakan secara nyata.
“Kebebasan berekspresi itu sering diabaikan. Kita seperti tidak diberi ruang sama sekali,” pungkas Tiwi. (B)
