BANDUNG — Deretan foto yang diambil di sekitar Kantor Kelurahan Kacapiring memperlihatkan dua unit motor triseda pengangkut sampah dalam kondisi rusak berat dan terbengkalai. Kendaraan roda tiga tersebut tampak berkarat, tidak utuh, tidak laik jalan, serta terparkir di ruang terbuka yang mudah diakses publik. (25/12/2025)
Dari pengamatan visual, satu unit triseda terlihat tanpa bak angkut, hanya menyisakan rangka dan mesin berkarat. Unit lainnya tertutup terpal kusam, ditumbuhi ranting pohon, bercampur sampah, serta berada di area depan dan samping kantor kelurahan.
Kondisi ini menciptakan kesan aset yang ditinggalkan, bukan disimpan atau dikelola. Fakta visual tersebut memunculkan penilaian publik bahwa kendaraan tersebut tidak sedang dalam perbaikan, tidak dalam proses operasional, dan tidak ditempatkan di lokasi penyimpanan aset yang semestinya.
Keberadaannya di ruang publik justru menyerupai rongsokan, bukan sarana pendukung pelayanan masyarakat.
Secara kasat mata, kondisi triseda yang dibiarkan dalam jangka waktu lama menimbulkan sejumlah pertanyaan rasional di tengah masyarakat:
Apakah kendaraan tersebut masih tercatat sebagai aset aktif?
Jika masih tercatat, bagaimana pencatatan biaya perawatan dan penyusutannya?
Apakah pajak kendaraan tetap dibayarkan meski tidak beroperasi?
Jika tidak lagi laik, mengapa belum dipindahkan atau diproses sesuai mekanisme pengelolaan aset?
Keberadaan kendaraan rusak berat di halaman kantor pemerintahan juga dinilai tidak mencerminkan standar lingkungan kerja dan pelayanan publik.
Kantor kelurahan sebagai wajah pemerintahan paling dekat dengan warga seharusnya menampilkan kerapihan, ketertiban, dan akuntabilitas, termasuk dalam pengelolaan barang milik negara.
PENGAMAT PUBLIK:
Pengamat publik, Saeful Zaman, menilai kondisi yang tampak dalam foto sebagai indikasi lemahnya tata kelola aset publik, jika tidak segera ditindaklanjuti secara administratif.
Menurutnya, aset negara yang secara visual sudah tidak laik dan dibiarkan di ruang publik wajar memunculkan penilaian kritis dari masyarakat.
“Ketika aset publik berkarat, tidak utuh, dan dipajang di halaman kantor pemerintahan, publik akan menilai ada pembiaran. Ini bukan soal asumsi, tapi soal apa yang terlihat setiap hari,” ujarnya.
Saeful menegaskan, dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, aset yang tidak berfungsi harus jelas statusnya—apakah diperbaiki, dipindahkan, atau dihapuskan sesuai ketentuan.
“Kalau dibiarkan begitu saja, kesan yang muncul adalah kelalaian. Dalam urusan aset negara, tampilan visual sudah cukup kuat untuk memunculkan pertanyaan akuntabilitas,” tambahnya.
Tanpa perlu pernyataan siapa pun, foto-foto tersebut sudah berbicara. Publik dapat menilai sendiri apakah kondisi ini mencerminkan tata kelola aset yang baik atau justru menunjukkan pembiaran terhadap fasilitas yang berasal dari uang masyarakat.
Nama Lurah Kacapiring, Aden Solohin, ikut menjadi sorotan publik seiring posisinya sebagai penanggung jawab wilayah. Penilaian ini bukan tudingan, melainkan konsekuensi logis dari kondisi yang terlihat langsung oleh mata masyarakat. (B)



