Krisis Sudan kembali membara. Ribuan orang mengungsi, dan pembunuhan masal serta pemerkosaan terus terjadi dengan semakin mengerikan. Pembantaian ini merupakan kelanjutan dari setengah tahun yang lalu, di mana terjadi pemboman, eksekusi di luar hukum, dan kelaparan di el-Fasher, di mana lebih dari 1.400 warga sipil terbunuh. Ini adalah bagian dari kampanye kesengajaan pemusnahan dan pembunuhan secara sistematis.
Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika, mayoritas penduduknya beragama Islam, memiliki lebih banyak piramida dan Sungai Nil yang lebih panjang dibandingkan Mesir, merupakan produsen emas terbesar di Arab, serta memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Namun, negara ini mengalami krisis kemanusiaan yang sangat panjang. Banyak pihak merasa pesimis bahwa situasi politik di Sudan dapat berakhir dengan baik, dan berita tentang konflik di Sudan sering tertutup oleh berita tentang Gaza.
Di balik semua itu, sesungguhnya ada alasan lain mengapa konflik Sudan tidak juga berakhir. Konflik ini bukan murni konflik etnis, tetapi ada keterlibatan negara adidaya (AS) dan Inggris yang melibatkan negara-negara bonekanya (Zionis dan UEA) terkait rebutan pengaruh politik (proyek Timur Tengah baru AS) demi kepentingan perebutan kendali dan perampokan sumber daya alam yang melimpah ruah di Sudan.
Lembaga-lembaga dan aturan internasional dibuat dalam kerangka yang melanggengkan kepentingan hegemoni negara-negara adidaya terhadap negeri-negeri Muslim, di mana aturan dan kebijakan tersebut menyebabkan pecahnya perang saudara di Sudan. Sudan yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi objek permainan dan perebutan negara-negara adidaya. Konflik ini membuat Sudan semakin lemah dengan dipecah menjadi beberapa wilayah; situasi ini mempermudah penjajah untuk mengalienasi potensi Islam yang masih kuat di Sudan.
Selama ini, umat Islam dan dunia telah dibodoh-bodohi dengan krisis Sudan, dengan propaganda bahwa konflik di Sudan adalah konflik antaretnis dan perang saudara, yang membiarkan rakyat Sudan dalam penderitaan berkepanjangan. Semua ini terjadi karena penjajah yang mencekok mereka dengan nasionalisme, sehingga tidak ada lagi solidaritas antar umat. Konflik Sudan adalah skenario licik negara adidaya dan para anteknya.
Umat harus dinaikkan level berpikirnya sehingga mampu membaca seluruh problem dunia dalam kacamata ideologis dan keniscayaan perang peradaban antara Islam dan ideologi non-Islam. Bukan hanya di Sudan, hal yang sama terjadi; di wilayah lain pun banyak terjadi, terutama di wilayah negeri-negeri Muslim. Inilah potret kelam umat Islam di bawah kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme global; umat jadi korban kerakusan negara adidaya, di mana negara dipecah belah atas nama nasionalisme dengan bonekanya, yaitu para penguasa. Islam kehilangan identitasnya yang sejatinya menjadi kunci kebangkitan dan kemuliaan mereka; bahkan, umat dicekoki narasi bahwa Islam adalah sumber penderitaan, radikalisme, dan perpecahan.
Umat harus disadarkan bahwa hanya sistem Islam yang bisa diharapkan menyelesaikan berbagai krisis, baik politik, ekonomi, dan lain-lain, hingga kerahmatan terwujud di seluruh dunia. Kesadaran ini harus memotivasi umat untuk turut berjuang menegakkan Khilafah karena dorongan iman. Semua ini tidak bisa dilakukan seorang diri, tetapi harus berjamaah, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Jamaah yang berkhidmat kepada Islam, jamaah yang pikirannya hanya terikat dengan Islam, berjuang untuk Islam, mempersatukan umat di seluruh dunia dalam naungan Khilafah, melawan hegemoni kafir Barat yang terus membuat umat Islam terjajah, terpecah belah, dan menderita. Sudah saatnya umat Islam bangkit dari keterpurukan ini, bebas dari penghambaan kafir Barat, lepas dari pengaruh penjajah negeri-negeri kita, mengganti sistem batil, dan mengembalikan kehidupan dengan dasar Islam serta menerapkannya dalam segala aspek kehidupan. Wallahualam bi shawab
Penulis : Yuli Yana Nurhasanah
