Opini, -
Kedatangan Prabowo ke Solo untuk sowan kepada Joko Widodo, membuat penilaian buruk atas sikap kepemimpinannya sebagai Presiden yang semestinya menjaga perasaan rakyat. Omong doang pidato demi rakyat demi rakyat, datang bukan sekedar menengok orang sakit tetapi bagai pesakitan yang datang kepada tuan-nya. Tidak sadarkah Prabowo, bahwa Joko Widodo itu sedang disorot rakyat terkait dosa - dosa politik-nya yang menumpuk "bermuka setebal kita UU 45" ?
Banyak rakyat termasuk aktivis yang masih menunggu sikap tegas Prabowo, untuk memutus mata rantai dosa - dosa politik rezim Jokowi. Namun, faktanya justru bukan sinyal konstruktif yang ditampilkan melainkan gestur ketidakberdayaan dari seorang Jenderal yang perlu dikasihani. Semakin tipis harapan untuk perubahan dan kemajuan, bahwa Prabowo memang bukan macan tetapi seperti bebek peliharaan. "Sayang sekali ucapnya.
Ke Solo, sebelum acara PSI mampir untuk melaporkan kunjungan luar negeri-nya. Prabowo menyampaikan, hal diplomasi dan komoditas strategis. Bagai seorang Menteri, bahwa Prabowo melapor ke Presiden atas pelaksanaan tugasnya. Nampak ia belum juga move on, sebagai Presiden. Inilah yang dibaca publik, betapa Jokowi itu masih Presiden untuk Prabowo.
Setelah mengecilkan kerja para pencari kebenaran soal ijazah Jokowi yang diduga palsu, lalu memuji kerja menteri, khususnya menteri - menteri titipan Jokowi. Maka kini, ia sowan ke rumah Jokowi di Sumber untuk melapor. Sejumlah menteri, ikut menyertai kunjungan menghadap sang godfather tersebut.
Sebelumnya petinggi Purnawirawan mendesak pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dan berulang minta jumpa dengan Prabowo, akan tetapi tidak sedikitpun ia mau merespon bahkan melirik pun tidak. Soal PIK 2 yang menggerus kedaulatan negara juga tidak digubris, tertuju pada Aguan tetap dilindungi sebagaimana Jokowi melindungi. Prabowo itu, memang follower eh Jokower bukan leader.
Ketika Gibran didesak untuk dimakzulkan, bapak-nya alias Jokowi menyatakan harus satu paket dalam memilih dan menurunkan. Tentu Jokowi, salah sebab hukum mengatur dalam Pasal 7 A UUD 1945 dapat diturunkan masing - masing baik Presiden ataupun Wakil Presiden.
Ungkapan Jokowi tersebut, politis berfungsi sebagai tekanan bagi Prabowo agar tetap melindungi Gibran. Bak gajah yang digiring - Prabowo pun patuh.
Prabowo tidak peduli dengan aspirasi dan perasaan rakyat yang menghendaki pertanggungjawaban Jokowi, atas segala kerusakan hukum, politik, budaya, sosial, ekonomi dan lainnya yang diderita bangsa dan negara Indonesia. Ia, tetap abdi dalem dari sang Raja Jawa. Sowan, periodik layaknya menjadi kewajiban moral dan ritualnya.
Orientasi, komitmen dan perasaan kerakyatan Prabowo sebatas omon - omon. Ia, lebih memilih untuk berorientasi, berkomitmen dan lebih menjaga perasaan Jokowi. Mungkin Jokowi benar juga, bahwa kini untuk urusan memakzulkan haruslah satu paket.
Saatnya rakyat bergerak untuk menekan lembaga - lembaga politik, agar segera menjalankan operasi mulia penyelamatan bangsa dan negara dengan memakzulkan Prabowo dan Gibran. "Satu paket.
Kedaulatan rakyat harus direbut dan dipulihkan, penjajahan harus segera dihapuskan. Jangan biarkan, penjahat bebas untuk merampok dan menistakan.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : M Rizal Fadillah.
Bandung, 23 Juli 2025.