Opini Publik,-
Pagi itu, ibu Sari duduk termenung di depan warung kecilnya. Wajahnya muram, tangannya meremas-remas kantong belanjaan yang kosong. Sejak semalam, ia berkeliling mencari beras. Namun, harga yang ditawarkan terlalu mahal. Bahkan lebih mahal dari biasanya, padahal katanya sedang musim panen.
“Aneh, panen banyak, tapi beras malah - mahal,” keluhnya pelan. Ia, bukan satu-satunya yang merasa heran. Di berbagai daerah, lebih dari 130 Kabupaten dan Kota mengalami kenaikan harga beras pada pertengahan Juni 2025. Padahal, stok beras dilaporkan melimpah.
Berita ini dibenarkan oleh media mainstream pada 20 Juni 2025, dalam laporan itu. Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Prof. Jamhari, menyebut situasi ini sebagai “tidak masuk akal”. Ia, menyayangkan ketika data menunjukkan stok aman, tetapi rakyat kesulitan membeli karena harga melejit.
Mekanisme yang Rumit, Pasar yang Terganggu
Di balik keresahan Ibu Sari, ada masalah yang lebih besar. Pemerintah, melalui Bulog memang menyerap gabah dalam jumlah besar dari petani. Tujuannya baik, untuk menjaga harga panen agar tidak anjlok. Namun, penyerapan dalam jumlah besar tanpa distribusi cepat justru menumpuk stok di gudang.
Distribusi ke pasar tersendat, akibatnya pasokan ke pedagang menjadi terbatas. Ini membuat harga naik, rakyat yang harusnya terbantu justru merasa terbebani.
Kondisi ini, menunjukkan betapa pentingnya koordinasi antar instansi. Pengelolaan logistik pangan tidak cukup hanya dari sisi produksi. Distribusi, jalur pasar dan kecepatan penyaluran juga harus diperhatikan.
Saat Pangan Jadi Komoditas, Rakyat Rentan Terluka
Bagi sebagian orang, beras bukan sekadar bahan pangan, tapi hidup itu sendiri. Ketika harga naik, pilihan untuk makan pun menjadi sempit. Itulah yang terjadi, ketika kebutuhan pokok dibiarkan tunduk pada mekanisme pasar semata.
Namun, pemerintah tidak tinggal diam. Melalui berbagai program, seperti bantuan pangan dan operasi pasar, negara terus berupaya menjaga stabilitas harga. Meski begitu, pendekatan teknis saja tidak cukup. Kita butuh cara pandang baru dalam mengelola pangan, yakni menjadikannya sebagai hak dasar rakyat, bukan sekadar barang dagangan.
Islam Mengajarkan Negara Hadir untuk Rakyat
Dalam sejarah Islam, negara memegang peran penting dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat. Pada masa Rasulullah Saw., pemerintah turun langsung memastikan distribusi pangan berjalan lancar. Negara tidak mengatur harga secara paksa, tapi menjamin ketersediaan barang di pasar.
Dalam sistem Islam, petani mendapat dukungan penuh. Negara menyediakan bibit, pupuk dan sarana produksi secara cuma - cuma. Negara juga melarang penimbunan dan memastikan distribusi yang adil, ini bukan semata-mata kebijakan ekonomi, melainkan perintah syariat.
Allah Swt., berfirman, “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu” (QS. An-Nur: 33). Negara bertanggung jawab, menyalurkan kekayaan kepada rakyat agar kebutuhan pokok mereka terpenuhi.
Menuju Masa Depan yang Lebih Adil
Ibu Sari, mungkin tidak tahu tentang mekanisme ekonomi makro. Ia, hanya ingin membeli beras untuk makan siang anak-anaknya. Kisah Ibu Sari, adalah cermin dari wajah rakyat kecil di negeri ini. Mereka tidak menuntut banyak, hanya ingin hidup wajar dan tidak dipaksa memilih antara beras dan biaya sekolah.
Kita semua tentu berharap, harga beras kembali normal dan distribusi pangan berjalan lancar. Pemerintah punya banyak instrumen untuk memperbaiki sistem, tapi yang lebih penting, kita semua sebagai masyarakat harus terlibat dalam mencari solusi bersama.
Karena, pangan bukan hanya soal angka dan kebijakan. Ia, adalah soal rasa kenyang, ketenangan dan keadilan.
Editor Lilis Suryani
Oleh : Ummu Fahhala S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).