Abstrak,-
“Bu, kenapa sekolah kita jadi tidak dapat buku baru tahun depan ?, ” tanya seorang siswa kepada gurunya dengan wajah polos.
Guru itu terdiam sejenak, ia tahu bahwa APBD Jawa Barat 2026 turun menjadi Rp. 28,6 triliun. Anggaran pendidikan terancam, sementara rencana perekrutan guru baru lewat CPNS pun ditunda.
Pertanyaan itu sederhana, tetapi terasa seperti tamparan. Bagaimana mungkin, anak - anak harus menanggung beban keputusan yang lahir dari kursi - kursi kekuasaan ?
Anggaran yang Terpangkas
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi, memangkas sejumlah pos belanja setelah dana transfer pusat turun Rp. 2,4 triliun. Ia menegaskan, pelayanan dasar tetap prioritas. Infrastruktur, pendidikan dan kesehatan harus tetap berjalan meski anggaran menciut.
Namun, di balik janji prioritas, rakyat bertanya-tanya : sampai kapan harus menerima kabar pemangkasan ?
Suara Rakyat, Suara Hati
Di sebuah warung kopi, obrolan rakyat kecil mengalir !
“Jadi, tahun depan CPNS ditunda, ya?, ” ujar seorang pemuda, calon guru honorer yang sudah bertahun-tahun menunggu kabar pengangkatan.
“Iya, Dik. Katanya anggaran tidak cukup, ” jawab temannya dengan nada getir.
Pemuda itu tersenyum pahit, “Kalau begitu, bagaimana nasib anak - anak di desa ?, siapa yang akan mengajar mereka ? ”
Dialog sederhana ini, menyimpan keresahan mendalam bagi rakyat, pemangkasan anggaran bukan sekadar angka. Ia, menjelma dalam wajah - wajah murid yang kehilangan harapan, pasien yang menunggu antrean panjang di rumah sakit atau jalan desa yang kembali tertunda perbaikannya.
Efisiensi sering dipuji sebagai langkah bijak, namun apakah efisiensi yang memangkas kebutuhan rakyat masih bisa disebut bijak ?
Seorang ekonom Faisal Basri, mengingatkan bahwa penurunan transfer pusat kerap terjadi karena prioritas nasional yang bergeser. Ia menekankan, tanpa strategi jelas, rakyat akan selalu jadi pihak yang paling menderita. (20/9/2025).
Pertanyaan pun menggema : mengapa sumber keuangan negara yang melimpah justru berujung pada pemangkasan untuk rakyat ?, bukankah anggaran seharusnya hadir untuk menghidupi, bukan mengurangi kehidupan ?
Antara Janji dan Realita
Di ruang kelas, guru itu kembali menatap siswanya. “Kalian tetap harus semangat belajar, ”ujarnya, menahan air mata. Seorang murid lain berbisik, “Bu, kalau makan gratis masih ada, kan ? ”
Guru itu terdiam, program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang terus berjalan. Namun, ia tahu, program itu penuh celah. Kasus keracunan massal, pembayaran UMKM yang tertunda, bahkan penghentian sementara di beberapa daerah menjadi bukti nyata.
Anak - anak memang kenyang, tetapi orang tua mereka bisa saja kehilangan pekerjaan akibat pemangkasan anggaran lain. Bukankah itu lebih ironis ?
Jalan yang Ditunjukkan Islam
Di tengah kerisauan itu, tentunya Islam menawarkan jalan lain. Rasulullah Saw., pernah bersabda, “Imam adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan, bukan penguasa yang memutuskan sesuka hati. Umar bin Khattab ra., saat paceklik rela tidak makan daging, hanya untuk merasakan penderitaan rakyatnya. Ia tidak sekadar memberi bantuan pangan, tetapi memastikan keamanan, kesehatan dan pendidikan tetap terjaga.
Sistem keuangan Islam melalui baitulmal, menjamin semua kebutuhan rakyat : sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dana berasal dari sumber yang beragam, diantaranya zakat, kharaj, jizyah, fai, tambang hingga pengelolaan milik umum. Tidak ada ruang bagi pemangkasan yang merugikan rakyat, karena pemimpin wajib tunduk pada hukum Allah SWT., bukan pada kepentingan politik golongan.
Harapan yang Tak Boleh Padam
Malam itu, guru tadi menuliskan sesuatu di buku catatannya : “Rakyat butuh pemimpin yang kuat, amanah dan takut kepada Allah Swt. Pemimpin yang tidak hanya memberi makan gratis, tetapi juga memastikan anak - anak bisa sekolah dengan layak, orang sakit mendapat layanan yang cepat dan setiap keluarga hidup dengan tenang.”
Air matanya jatuh, tetapi ia tersenyum. Harapan tidak boleh padam, meski anggaran menyusut, ia percaya suatu hari akan lahir sistem yang adil. Sistem yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elite.
Sebab, sejarah Islam sudah membuktikan bahwa pemimpin sejati bukan hanya menghitung angka, tetapi mengurus manusia dengan segenap jiwa.
Editor Lilis Suryani.
Oleh: Ummu Fahhala S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).