Opini Publik,-
Pintu kamar itu tertutup rapat didalamnya, seorang ibu di Banjaran Kabupaten Bandung mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri. Dua anaknya yang masih kecil, berusia 11 bulan dan 9 tahun, ditemukan tak bernyawa. Polisi menduga sang ibu meracuni mereka terlebih dahulu, sebelum bunuh diri sebuah surat wasiat pun ditemukan di dekat jasadnya.
Berita medsos, mengungkapkan bahwa sang ibu terjerat utang yang tak pernah berakhir. Utang yang membelit seperti jerat tali, mencekik perlahan, hingga akhirnya ia menyerah. Sang ibu sudah terlanjur putus asa, ia sudah lelah dan merasa sangat berat menanggung beban seorang diri.
“Kalau saja aku masih bisa bertahan…”, mungkin itulah kalimat terakhir yang tak pernah terucap. Tetapi, yang tersisa kini hanya tubuh yang kaku dan tangis keluarga yang ditinggalkan.
Tragedi ini bukan sekadar angka di laporan kriminal, ia adalah potret betapa rapuhnya keluarga hari ini. Betapa seorang ibu yang seharusnya menjadi pelindung anak-anaknya, justru ikut mengakhiri hidup mereka.
Psikolog keluarga Dra. A. Latifah M.Psi., dari Universitas Indonesia pernah mengingatkan bahwa tekanan finansial yang berlarut bisa memicu depresi berat. Bahkan, ia menegaskan tanpa dukungan sosial yang kuat, seseorang bisa kehilangan harapan hidup (2023).
Dialog Sunyi dengan Hati Nurani
“Kenapa seorang ibu sampai tega pada anaknya sendiri ?, "tanya seorang ayah di sebuah warung kopi.
“Karena ia sendirian melawan dunia,” jawab temannya lirih.
“Tapi…, bukankah kita punya Allah?, ” sahut yang lain, matanya berkaca-kaca.
Dialog semacam ini sering muncul di tengah masyarakat, namun jawaban sebenarnya lebih kompleks. Bukan sekadar persoalan iman atau lemah hati, ada sistem yang membuat seorang ibu terjebak utang, seorang ayah kehilangan pekerjaan dan anak - anak kehilangan masa depan.
Kasus serupa telah berulang, masalah rumah tangga, ekonomi hingga rusaknya tatanan sosial masyarakat menjadi pemicu utama. Judi dan narkoba dibiarkan, lapangan kerja makin sulit, perceraian meningkat.
Negara berusaha hadir dengan berbagai kebijakan, sistem yang berlaku hari ini belum mampu menutup semua celah. Banyak keluarga yang tetap tersisih, merasa berjalan sendiri, tanpa pegangan.
Padahal dalam Islam, nyawa seorang manusia sangat berharga. Rasulullah Saw., bersabda. “Hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah, daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Tirmidzi).
Seandainya Ibu Itu Hidup di Bawah Naungan Islam
Bayangkan jika ibu itu hidup dalam sistem yang menempatkan keluarga sebagai pilar utama, dimana kebutuhan pokok dijamin, pendidikan gratis tersedia dan kesehatan bisa diakses tanpa memikirkan biaya.
Bayangkan jika ada tetangga yang paham kewajiban sosialnya, bayangkan jika ada pemimpin yang seperti Umar bin Khattab yang rela memikul gandum untuk rakyatnya yang kelaparan.
Mungkin, pintu kamar itu tidak akan menjadi saksi bisu. Mungkin, dua anak itu masih bisa tertawa di pangkuan ibunya.
“Kalau begitu, apa yang bisa kita lakukan ?, ” tanya seorang ibu kepada suaminya.
“Kita mulai dari rumah, kita tanamkan iman pada anak - anak kita, kita ajarkan mereka salat, kita dekatkan mereka pada Al-Qur’an,” jawab sang suami.
“Tapi…, apakah cukup hanya dengan itu ?, ” si ibu ragu.
“Tidak cukup, kita juga butuh sistem yang mendukung. Sistem yang menjaga keluarga kita yang memastikan kita tidak dibiarkan sendiri melawan hidup.”
Islam memberi solusi yang jelas dengan menanamkan ideologi Islam dalam keluarga, mengenalkan syariat sejak dini, memahami peran dalam rumah tangga, mendekatkan diri kepada Allah Swt., dengan ibadah, menjaga interaksi sesuai syariat, menghadiri majelis ilmu untuk memperkuat iman.
Namun, penerapan sistem Islam yang kafah harus mengiringi semua itu. Sistem yang tidak hanya membimbing, tetapi juga melindungi. Sistem yang memastikan setiap keluarga tidak terjerat dalam lingkaran utang dan keputusasaan.
Penutup
Tragedi di Banjaran, adalah alarm keras bagi kita semua. Ia, adalah jeritan seorang ibu yang tak sanggup lagi berdiri dengan suara sunyi. Jangan biarkan !, ada lagi tangis sunyi di balik pintu kamar.
Kita tidak boleh menutup mata, kita harus kembali pada jalan yang benar. Hanya dengan Islam, keluarga bisa tegak, masyarakat bisa kuat dan setiap ibu bisa tersenyum bersama anak-anaknya.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala, S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)