Gaza,-
“Umi… apakah besok kita masih bisa makan ?”, tanya seorang bocah kurus dengan mata yang cekung, menggenggam erat tangan ibunya di sebuah lorong reruntuhan Gaza.
Sang ibu terdiam, matanya basah. Ia, tahu jawaban itu mungkin tidak ada. Bagaimana bisa, ketika dunia seakan buta dan langit Gaza terus dihujani api ?
Hari itu, dunia kembali diguncang. Lima jurnalis Al Jazeera tewas dibantai ketika menyiarkan kebenaran, pihak Sekjen PBB mengutuk keras. “Serangan terhadap kebenaran adalah serangan terhadap jurnalis,” ucap Antonio Guterres. Tetapi kutukan itu hanyalah gema tanpa gigi, tenggelam dalam ledakan roket yang menghancurkan rumah - rumah rakyat.
Lebih dari sejuta perempuan dan anak yang kini mengalami kelaparan secara sistemis, dua ratus ribu anak merintih dalam malnutrisi. Gaza tidak hanya berdarah, tetapi juga dilaparkan.
“Apakah ini perang, Umi?”, bocah itu kembali bertanya lirih.
“Tidak Nak, ini bukan sekadar perang. Ini pembantaian… ini genosida,” jawab sang ibu, menatap kosong ke arah asap yang membubung.
Zionis menyerang perempuan, anak - anak, rumah sakit, bahkan sekolah. Mereka tidak berani menghadapi rakyat Gaza yang beriman, mereka pengecut yang bersembunyi di balik kebrutalan.
Namun, lebih menyakitkan. Bukan hanya peluru yang menghujani Gaza, diamnya para penguasa negeri muslim adalah luka yang jauh lebih dalam.
Rasulullah Saw., bersabda ; “Perumpamaan orang - orang mukmin dalam cinta dan kasih sayang bagaikan satu tubuh, jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR Bukhari-Muslim).
Tetapi, tubuh umat ini kini seakan mati rasa. Satu bagian bernama Gaza sedang digerogoti, sementara bagian lain tetap tenang mengejar dunia.
Di sebuah forum kecil di Jakarta, seorang pemuda meletakkan koran di atas meja. Berita, tentang Gaza memenuhi halaman utama.
“Apa gunanya konferensi internasional, kecaman atau doa bersama, jika tak ada satu pun pasukan yang bergerak ?”, suaranya bergetar menahan marah.
Seorang sahabatnya menimpali, “Mereka semua sudah terikat kepentingan dunia, terjebak dalam nasionalisme sempit. Padahal Allah Swt., telah berfirman ; ‘Sesungguhnya orang - orang mukmin itu bersaudara.’ (QS Al-Hujurat: 10).”
Pemuda itu mengepalkan tangannya, “Palestina dulu pernah dibebaskan, bukan dengan diplomasi tapi dengan kepemimpinan Islam. Umar bin Khaththab ra., Shalahuddin al-Ayyubi… mereka lahir dari rahim kepemimpinan Islam yang satu. Lalu, apa yang kita tunggu ?”
Hening, hanya suara hujan di luar jendela yang terdengar. Tapi di dalam hati, percikan api semangat mulai menyala.
Kita harus jujur, bahwa tragedi Gaza membuka mata umat. Tidak ada yang bisa menyelamatkan kita, kecuali kembali pada kepemimpinan Islam. Suatu kebutuhan nyata, bukan sekadar slogan atau mimpi utopis.
Rasulullah Saw., bersabda ; “Tidak ada Islam tanpa satu komunitas, tidak ada komunitas tanpa kepemimpinan. Tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.” (HR Ad-Darimi).
Hanya pemimpin yang menjalankan Islam secara kafah yang dapat menyatukan kekuatan umat, menggerakkan pasukan dan benar - benar mengusir penjajah dari tanah suci.
“Umi, apakah Palestina akan bebas suatu hari nanti ?”, tanya bocah kecil itu lagi, kini dengan mata berbinar meski tubuhnya lemah.
Sang ibu tersenyum getir, lalu berbisik, “Ya, nak "Janji Allah itu pasti". Kita hanya harus bersabar, berdoa dan percaya, bahwa umat ini akan bangkit.”
Allah Swt., berfirman ; “Dan Allah telah berjanji kepada orang - orang yang beriman di antara kamu, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi…” (QS An-Nur: 55).
Hari ini Gaza berdarah, besok bisa jadi negeri muslim lain. Tetapi jika umat kembali bersatu, menegakkan kepemimpinan Islam berdasarkan manhaj nubuwwah, maka janji Allah akan menjadi nyata.
Tangisan Gaza bukan akhir cerita, ia adalah panggilan. Sebuah seruan agar umat kembali pada jalan perjuangan, jalan yang penuh pengorbanan, namun pasti berbuah kemenangan.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)