Catatan Redaksi,-
Pemerintahan Kota Bandung, masih dalam seputar sorotan prihal masalah sampah atau lebih jelasnya PLTSa. Kasus Class Action terkait sampah yang sudah di perdakan dan sudah dilaksanakan lelang, namun tidak dijalankan menimbulkan beberapa pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas Pemerintahan.
Perjajian antara Walikota RK dengan Pemrov, tentang Tipping Fee 386 Ribu per-ton untuk TPPAS Legok Nangka tanpa memutuskan terlebih dahulu status proyek PLTSa yang di perdakan menimbulkan beberapa kemungkinan :
1. KAJI ULANG PERJAJIAN : Farhan perlukah mengkaji ulang perjajian Tipping Fee yang di tandatangani oleh RK, untuk memahami implikasi dan potensi resiko ?
2. KONSULTASI dengan AHLI : Farhan, apakah dapat berkonsultasi dengan AHLI hukum dan keuangan untuk memahami aspek hukum serta keuangan dari perjajian tersebut ?
3. TRANSPARANSI : Farhan, bisakah memastikan bahwa perjanjian tersebut transparan dan diketahui oleh publik untuk menghindari kecurigaan dan kritik ?
4. EVALUASI PROYEK PLTSa : Farhan, apakah dapat melakukan evaluasi ulang terhadap proyek PLTSa yang di-perda-kan untuk memastikan bahwa proyek tersebut masih relevan dan efektif ?
5. PEGAWASAN : Farhan, dapat memastikan, bahwa ada mekanisme pengawasan yang efektif untuk memantau pelaksanaan perjajian dan proyek tersebut ?
Dengan demikian Farhan dapat meminimalkan risiko dan dampak negatif dari keputusan RK, memastikan bahwa pengelolaan sampah di daerah tersebut berjalan efektif dan efisiensi.
Perjanjian antara Walikota RK dengan pemprov, tentang Tipping Fee 386 Ribu per-ton untuk TPPAS Legok Nangka tanpa memustuskan terlebih dahulu status proyek PLTSa yang di-perda-kan menimbulkan beberapa kemungkinan :
1. KONPLIK KEPENTINGAN : Apakah ada konflik kepentingan antara perjanjian Tipping Fee dengan proyek PLTSa yang di perdakan ?
2. TRANSPARANSI : Apakah perjanjian Tipping Fee tersebut transparan dan di ketahui oleh publik ?
3. AKUNTABILITAS : Apakah, pemerintah bertanggung jawab atas keputusan yang diambil dan Apakah ada mekanisme pengawasan yang efektif ?
Dalam kasus ini, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk memahami detail perjanjian dan keputusan yang diambil oleh pemerintah. Beberapa perjanjian yang perlu di jawab adalah ;
1. Apa alasan Walikota RK mendandatangani perjanjian Tipping Fee, tanpa memutuskan status proyek PLTSa ?
2. Apakah perjanjian Tipping Fee tersebut, sesuai dengan peraturan yang berlaku ?
3. Apa dampak perjanjian Tipping Fee, terhadap proyek PLTSa dan pengelolaan sampah di daerah tersebut ?
Dengan demikian, publik dapat memahami lebih baik tentang kasus ini dan menentukan langkah - langkah yang perlu diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. (Redaksi)
Editor Toni Mardiana.
