
Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa (Pegiat Literasi di Majalengka)
Tepat pada 7 Oktober kemarin, genap dua tahun sudah aksi genosida di Tanah Suci Al-Quds berlangsung. Namun penderitaan saudara-saudara Muslim kita di sana terus berlanjut seakan tanpa ujung. Korban tewas yang terus berjatuhan bukan sekadar angka, melainkan nyawa tak ternilai harganya. Entah bagaimana umat Islam akan mempertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak atas senjata yang tak juga diangkat untuk membebaskan Palestina.
Gerakan Global Sumud Flotilla yang membawa harapan bagi rakyat Palestina kini terancam gagal karena pencegatan yang dilakukan oleh penjajah. Para aktivis yang berada di dalam kapal-kapal gerakan tersebut dilaporkan ditahan sehingga tak dapat melanjutkan perjalanan. Hal ini sontak mengundang kemarahan dari berbagai penjuru dunia. Salah satunya terlihat dalam aksi demonstrasi di sejumlah kota besar di Eropa pada Kamis (2/10/2025) (Kompas.com, 4/10/2025).
Tolak Normalisasi Penjajahan
Kapal-kapal yang membawa makanan dan obat-obatan itu benar-benar tidak diizinkan untuk menyampaikan misinya. Dengan tindakan pencegatan ini, Zionis Israel sekali lagi telah menyerang seluruh nilai kemanusiaan. Ambisinya untuk menguasai tanah Palestina telah mematikan rasa kemanusiaan. Akankah hal ini terus dibiarkan?
Solusi Dua Negara (Two-State Solution) yang disuarakan banyak pihak sejatinya adalah solusi yang tidak adil bagi Palestina. Solusi tersebut justru menormalisasi penjajahan dan perampasan tanah. Ibaratnya, jika seseorang masuk ke rumah kita lalu membunuh seluruh anggota keluarga dan merampas semua yang kita miliki, kemudian orang-orang memberi “solusi” agar rumah itu dimiliki berdua — apakah itu adil bagi pemilik rumah?
Jika kezaliman dinormalisasi, berarti siapa pun bebas merebut milik orang lain. Menormalisasi kejahatan adalah tindakan yang amat berbahaya. Ketika kejahatan dianggap lumrah, semua orang akan kehilangan rasa aman. Ketenangan pun lenyap, digantikan oleh rasa takut dan ketidakpastian. Maka, dapatkah kesejahteraan terwujud dalam kondisi seperti itu? Tentu tidak.
Busuknya Sekularisme
Inilah yang terjadi ketika “jalan tengah” dijadikan asas ideologi dan peradaban. Batas antara baik dan buruk menjadi kabur; akibatnya, penderitaan manusia tak lagi terukur. Nyawa dianggap sekadar sesuatu yang menghidupkan jasad tanpa nilai. Keadilan dan rasa aman seolah menjadi barang mewah yang hanya bisa dimiliki mereka yang berkuasa.
Pemimpin-pemimpin Muslim pun kini tak lagi memiliki daya. Apa makna keberadaan mereka jika tunduk pada tekanan elit kapitalis dunia? Padahal satu luka dari saudara Muslim seharusnya cukup untuk membuat mereka bertindak tegas. Namun yang tampak, justru mereka menunduk di bawah sistem rusak buatan manusia.
Begitu pula dengan pemimpin Indonesia — negeri dengan penduduk mayoritas Muslim — yang malah mendukung solusi semu ala Barat. Dampak dari penerapan sistem sekular-kapitalistik ini terasa nyata: degradasi moral, meningkatnya kriminalitas, hingga perilaku pongah sebagian pejabat yang memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi, sementara rakyat menjadi korban.
Gen Z: 'Agent of Change' Masa Kini
Generasi Z yang kini tumbuh menjadi pemuda harus menyuarakan solusi komprehensif bagi permasalahan Palestina dan dunia Islam secara umum. Layaknya para pemuda pendamping Rasulullah ﷺ yang berjuang menegakkan peradaban Islam di masanya, pemuda hari ini pun mesti mengambil peran yang sama. Sebagian besar sahabat Nabi adalah pemuda dengan semangat perubahan hakiki. Maka, tak ada alasan bagi generasi saat ini untuk berdiam diri.
Hanya Islam yang mampu mengatasi seluruh persoalan manusia secara paripurna. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin — membawa rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi kaum Muslim. Dengan jiwa muda yang membara, Gen Z harus berani memperjuangkan tegaknya hukum Allah, meskipun harus menantang arus peradaban yang rusak.
Seperti Osman Ghazi bin Ertuğrul — Sang Khalifah Utsmaniyah pertama — yang sejak muda bertekad menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam sebuah mimpi, dari dadanya tumbuh pohon besar yang menaungi dunia; di bawahnya mengalir empat sungai besar dan tumbuh kota-kota agung, salah satunya ditafsirkan sebagai Konstantinopel. Osman Ghazi yakin, keturunannya akan mewujudkan kabar gembira Rasulullah ﷺ tentang penaklukan kota itu. Dan benar, 150 tahun setelah wafatnya, janji tersebut terwujud melalui Muhammad Al-Fatih pada 1453 M.
“Sungguh, Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.”
(HR. Ahmad dan al-Hakim)
Pemuda masa kini hendaknya meneladani Rasulullah ﷺ, para sahabat, serta tokoh-tokoh Muslim hebat sepanjang sejarah. Selama nyawa masih dikandung badan, tak ada kata mustahil untuk berjuang di jalan Allah, sebagaimana para pejuang terdahulu yang menorehkan sejarah agungnya.
Jihad dan Tegaknya Islam
Permasalahan Palestina tidak akan selesai hanya dengan diplomasi, kecaman, atau solidaritas semata. Sejarah menunjukkan bahwa penjajah Zionis hanya tunduk pada kekuatan nyata, bukan sekadar seruan damai. Karena itu, satu-satunya jalan untuk membebaskan Al-Quds adalah dengan kebangkitan umat Islam yang bersatu di bawah kepemimpinan Islam sejati — yang menegakkan syariat dan memobilisasi kekuatan umat untuk membela yang tertindas.
Tegaknya Islam bukan hanya membawa keadilan bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi seluruh umat manusia. Di bawah naungan hukum Allah, nyawa manusia akan kembali dimuliakan, dan kedamaian hakiki akan terwujud. Wallahu a‘lam bish-shawab.