Opini Publik,-
Hujan turun deras sore itu, di sebuah rumah kecil di pinggiran Kota seorang ibu duduk termenung di depan kamar anak perempuannya yang masih kelas 5 SD. Ia, mendengar isakan pelan dari balik pintu, "Perlahan ia mengetuk.
"Bunga, boleh Ibu masuk ?"
Tidak ada jawaban, hanya isakan yang semakin lirih. Dengan hati - hati, sang ibu membuka pintu.
Di sudut kamar, tertunduk Bunga duduk bersimpuh. Matanya sembab, wajahnya menunduk. Sebuah ponsel tergeletak disampingnya, layar masih menyala, menampilkan aplikasi media sosial yang biasa digunakan anak - anak seusianya.
"Bunga kenapa, nak ? Cerita sama Ibu ya…"
"Bu… Bunga malu… temen - temen bilang Bunga jelek… mereka sebarin foto Bunga yang diedit… semua orang ketawa…"
Sang ibu memeluk anaknya erat, air matanya jatuh membasahi rambut gadis kecil itu. Ia, tak habis pikir, bagaimana dunia maya yang seharusnya menjadi ruang belajar justru menjadi tempat paling kejam bagi putrinya.
Bunga bukan satu-satunya anak yang terluka oleh dunia siber, di balik layar yang terang dan penuh warna, tersembunyi sisi gelap yang mengintai tanpa suara. Anak - anak, kini lebih akrab dengan gawai ketimbang buku. Bahkan, banyak dari mereka yang sudah punya media sosial sebelum bisa mengeja kalimat dengan benar.
Menteri PPPA dalam sebuah pernyataan di salah satu media mainstream pada 23 Januari 2024, menyebut bahwa media sosial kini menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bukan hanya komentar negatif, tapi juga konten yang tidak pantas, manipulasi gambar hingga eksploitasi data pribadi.
Laporan dari media online lainnya pada 20 Februari 2024, juga menunjukkan kekhawatiran atas penggunaan gawai berlebih di kalangan remaja. Fenomena ini bukan hanya mengganggu perkembangan mental, tetapi juga berpotensi menghancurkan karakter anak - anak sejak dini.
Sang ibu, sebut saja Bu Ratna, adalah seorang guru honorer. Ia, bukan tidak tahu bahayanya internet. Tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya melarang anaknya, di masa pandemi dulu, semua tugas sekolah ada di ponsel. Sampai hari ini pun, guru - guru kerap memberi tugas lewat aplikasi chatting dan video online.
"Kami orang tua seperti dibiarkan berjuang sendiri… Kami butuh perlindungan, bu, bukan hanya dari konten, tapi dari sistem yang tak berpihak, " keluhnya suatu hari dalam sebuah forum warga.
Sementara itu, menurut pakar pendidikan digital. Dr. Indra Charismiadji, literasi digital di Indonesia masih rendah. “Tanpa sistem pendidikan yang menanamkan nilai dan akhlak, kita hanya mencetak pengguna teknologi, bukan pemilik masa depan, ” katanya dalam webinar nasional Oktober 2023 lalu.
Negara memang membuat kebijakan, seperti memperkenalkan PP TUNAS ke organisasi internasional (KemenPAN-RB, 24 Oktober 2023), tapi di lapangan, masih banyak anak seperti Bumga yang terabaikan.
Masalah Sistemik, Teknologi Tanpa Iman
Yang terjadi pada Bunga bukan sekadar kasus bullying, ini adalah potret rapuhnya perlindungan anak di era digital. Teknologi dijalankan tanpa landasan moral yang kuat, pendidikan mengajarkan cara klik dan upload, tapi lupa mengajarkan adab dan akhlak.
Sistem sekuler kapitalisme lebih mementingkan pasar dan trafik, anak - anak dianggap target pasar potensial. Konten tak layak disebar luas, demi iklan dan keuntungan, "tak ada pagar yang benar - benar kokoh melindungi mereka.
“Kalau bukan kita yang menjaga anak - anak kita, siapa lagi ?, dan kalau negara tidak bisa melindungi mereka, maka siapa yang seharusnya kita harapkan ?, ” tanya Bu Ratna pada sebuah seminar dengan suara bergetar.
Islam Datang dengan Sistem Perlindungan Nyata
Dalam Islam, negara adalah pelindung rakyat. Rasulullah Saw., bersabda : “Imam adalah junnah (perisai), tempat orang - orang berlindung dan berperang di belakangnya.” (HR. Muslim).
Islam tidak hanya melindungi fisik, tapi juga jiwa dan kehormatan manusia.
Negara dalam sistem Islam, akan membangun infrastruktur digital yang mandiri. Tak bergantung pada teknologi asing yang menjadikan rakyat, sebagai komoditas data. Semua teknologi harus tunduk pada syariat, menjaga kemuliaan manusia, bukan merusaknya.
Di masa peradaban Islam, para pemimpin seperti Umar bin Khattab memimpin dengan ketegasan dan kasih sayang. Mereka menjaga setiap warga, bahkan hewan pun diperhatikan, apalagi anak - anak. Rasulullah Saw., pun tak pernah membiarkan seorang anak dipermalukan di depan umum.
Bunga, kini sedang menjalani terapi. Sekolahnya sudah turun tangan, walau agak terlambat. Ibunya kini aktif di komunitas perlindungan anak, berjuang agar suara - suara kecil seperti anaknya tak lagi diabaikan.
"Saya tak ingin anak saya membenci dunia, karena dunia maya. Saya ingin ia bangkit dan saya tahu, kami butuh sistem yang benar - benar melindungi, " kata Bu Ratna dengan tegas.
Islam, bukan sekadar agama, tapi juga sistem hidup yang melindungi dari bahaya. Dunia digital bisa menjadi ladang pahala, jika dikelola dengan iman dan ilmu. Tapi jika dibiarkan bebas seperti hari ini, maka akan banyak Bunga lain yang menangis di balik layar.
Penutup
Anak - anak kita, adalah amanah. Mereka bukan konsumen algoritma, bukan korban tren. Mereka, adalah calon pemimpin masa depan. Jika kita tak bisa melindungi mereka hari ini, jangan salahkan siapa pun jika esok dunia ini dikuasai oleh generasi yang rusak sejak dalam pikiran.
Saatnya negara hadir lebih dari sekadar kebijakan, hadir sebagai pelindung. Hadir, sebagai Junnah.
“Satu klik bisa menyakiti, satu sistem bisa menyelamatkan. Kita, butuh sistem yang berpihak pada kemuliaan manusia.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).