Abstrak,-
“Bu, apa artinya wisata ramah Muslim ? ”
Pertanyaan itu keluar polos dari mulut Rafi siswa kelas lima SD, saat mereka menatap papan besar bertuliskan “Selamat Datang di Kawasan Wisata Halal Jawa Barat.”
Ibunya tersenyum, lalu menatap langit sore yang memerah. “Artinya, nak, di sini semua orang bisa berlibur tanpa khawatir. Makanannya halal, tempat ibadahnya mudah dan suasananya tetap menjaga nilai - nilai Islam.”
Rafi mengangguk kecil, tapi bagi sang ibu dan bagi kita semua, pertanyaan itu seolah mengetuk hati : Apakah kehalalan di negeri ini benar - benar sudah menjadi jalan hidup atau baru sebatas label di papan nama ?
Prestasi yang Membanggakan, tapi Menyisakan Tanya
Tahun 2025, membawa kabar baik. Jawa Barat kembali menorehkan prestasi membanggakan di ajang Indonesia Muslim Travel Index (IMTI), sejak tahun 2019 hingga 2023, provinsi ini konsisten berada di peringkat enam besar sebagai destinasi wisata ramah Muslim terbaik di Indonesia, (14 Oktober 2025).
Fakta ini, menjadi bukti bahwa Jawa Barat terus berkomitmen membangun ekosistem pariwisata yang berpihak pada nilai - nilai Islam dari layanan ramah Muslim, jaminan kehalalan produk hingga kemudahan fasilitas ibadah.
Namun di balik kebanggaan itu, muncul suara lirih dari hati masyarakat : “Apakah kehalalan sudah menjadi sistem hidup atau sekadar penghargaan yang dirayakan setiap tahun ?”
Kehalalan bukan sekadar stiker di kemasan produk atau piagam penghargaan di panggung seremoni, ia adalah ruh kehidupan yang menuntun manusia menjaga kesucian hati, perilaku dan rezekinya.
Sayangnya, di tengah gemerlap pariwisata halal, jaminan kehalalan di sektor lain justru masih rapuh. Produk pangan haram masih mudah ditemukan, iklan minuman keras masih muncul di layar kaca. Bahkan, jaminan halal sering kali menjadi urusan bisnis—dibeli, dijual dan dinegosiasikan.
Inilah wajah kapitalisme sekuler yang menilai segalanya dengan ukuran materi, sistem ini, halal-haram bukan ukuran utama, tetapi untung-rugi. Jika menguntungkan, dijaga ; jika tidak, diabaikan.
“Jadi, Bu… halal itu bisa dijual ?, ”tanya Rafi lagi, polos tapi mengiris hati.
Sang ibu terdiam, menatap jauh ke arah gunung. “Seharusnya tidak, nak. Tapi begitulah dunia sekarang, banyak yang lupa bahwa halal itu perintah Allah SWT, bukan peluang usaha.”
Sebuah jawaban sederhana, tapi menyimpan kegelisahan mendalam tentang wajah sistem kehidupan yang kita jalani.
Islam : Sistem yang Menjamin, Bukan Menjual
Dalam pandangan Islam, negara bukan pedagang yang memperjualbelikan layanan publik, tapi pelayan dan pengurus urusan rakyat.
Rasulullah Saw., bersabda : “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Negara Islam memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin pangan dan produk halal secara nyata. Dalam sistem ini, kehalalan dijaga karena ketaatan, bukan keuntungan.
Rasulullah Saw., bersabda : “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR. Ahmad)
Artinya, barang haram tidak hanya dilarang dikonsumsi, tetapi juga tidak boleh diperjualbelikan. Begitu pula dengan produk wisata, makanan dan layanan publik, semuanya harus berpijak pada syariat, bukan selera pasar.
Dalam sistem Islam, negara menjamin kebutuhan rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak atau tarif tinggi. Negara menyiapkan lembaga baitulmal yang mengelola kekayaan umat dari sumber - sumber halal seperti ; zakat, kharaj dan kepemilikan umum.
Negara akan memastikan setiap produk yang beredar di masyarakat halal, aman dan terjangkau. Sertifikasi halal dilakukan gratis, bukan berbiaya tinggi. Pengawasan ketat diberlakukan tanpa kompromi, demi menjaga ketakwaan masyarakat.
Dan jika ada yang melanggar, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Ali bin Abi Thalib ra., meriwayatkan :
“Rasulullah Saw., mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu Bakar juga 40 kali, sedangkan Utsman 80 kali.” (HR. Muslim)
Sebuah bukti, bahwa Islam tidak main - main dalam menjaga kesucian umatnya dari yang haram.
Menata Jalan Pulang
Ketika senja turun di Tanah Priangan Rafi, kembali menatap langit yang mulai berwarna jingga.
“Bu,” katanya pelan, “kalau semua orang hidup sesuai ajaran Islam, berarti semuanya halal, ya ?”
Sang ibu mengangguk. “Iya, nak. Saat itu, bukan hanya makanan yang halal, tapi juga hatinya, niatnya dan seluruh kehidupannya.”
Di sinilah makna sejati wisata ramah Muslim, bukan sekadar destinasi yang menjual suasana Islami, tetapi negeri yang hidup dalam nilai Islam.
Capaian Jawa Barat di IMTI 2025, adalah langkah besar. Tapi langkah ini baru awal, kita masih harus menapaki jalan panjang untuk memastikan kehalalan menjadi budaya, bukan slogan tetapi harus menjadi sistem hidup, bukan sekadar penghargaan.
Karena cahaya Islam tidak hanya untuk memandu wisatawan, tetapi untuk menuntun umat kembali ke jalan pulang menuju ridha Allah Swt.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).