Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa
(Pegiat Literasi di Majalengka)
Darah masih tertumpah, tetapi empati seolah telah menghilang dari hati banyak pemimpin negeri-negeri Muslim. Penderitaan saudara-saudara kita di Palestina yang tak pernah berakhir belum cukup untuk menggugah kepedulian mereka. Kecaman yang dilontarkan hanyalah gema yang tak punya daya, sementara normalisasi hubungan dengan penjajah justru menjadi bukti nyata bahwa pengkhianatan itu terus berulang. Tragisnya, inilah yang kembali terjadi hingga hari ini.
Kazakhstan menjadi negara terbaru yang bergabung dengan Perjanjian Abraham (Abraham Accords), sebuah inisiatif normalisasi hubungan Israel–Arab yang diluncurkan Amerika Serikat pada 2020. Sebelumnya, Maroko, Bahrain, dan Uni Emirat Arab telah mengambil langkah serupa. Tak heran bila Hamas mengecam tindakan Kazakhstan sebagai langkah yang tidak dapat diterima dan amat memalukan (Antaranews.com, 8/11/2025).
Pengkhianatan yang Terulang Kembali
Langkah Kazakhstan ini adalah pil pahit yang kembali harus ditelan kaum Muslimin, khususnya saudara-saudara kita di Palestina. Mereka yang mempertahankan tanah suci dengan jiwa dan raga sudah terlalu sering menyaksikan pengkhianatan dari pemimpin negeri mereka sendiri. Di saat luka akibat kezaliman penjajah belum sembuh, mereka justru disakiti oleh ulah saudara seiman.
Tak heran bila mereka menangis dan memohon agar para pengkhianat itu tak mendapatkan syafaat Rasulullah ﷺ. Padahal beliau telah menegaskan bahwa kaum mukmin adalah satu tubuh; ketika satu anggota terluka, seluruh tubuh merasakan sakitnya.
“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh jasad turut merasakan sakitnya dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesadaran kolektif inilah yang tampaknya mulai pudar. Normalisasi hubungan dengan penjajah, bahkan dukungan terhadap solusi dua negara, pada hakikatnya adalah bentuk pembenaran terhadap penindasan panjang atas Palestina. Sudahkah mata kita tertutup? Sudahkah telinga kita tuli? Kezaliman Israel bukan sesuatu yang samar. Kita tidak perlu menjadi ahli agama untuk mengenalinya—cukup menjadi manusia yang berhati nurani.
Benar bahwa tidak semua pemimpin Muslim bungkam. Namun jika yang dilakukan hanya sebatas kecaman, apa manfaatnya? Bertahun-tahun kecaman disuarakan, tetapi tak satu pun menghentikan agresi Israel. Sejarah menjadi saksi: kecaman tak pernah membuat penjajah gentar.
Strategi yang Keliru
Selama umat Islam masih menggantungkan harapan pada solusi two-state solution ala Barat dan terus menormalisasi hubungan dengan penjajah, penderitaan Palestina tidak akan menemukan akhir. Israel—dengan segala kelicikannya—tidaklah pihak yang dapat dipercaya menjaga kesepakatan, terlebih bila kesepakatan itu memberi ruang untuk melegitimasi tindakannya di masa depan. Jika solusi dua negara benar-benar disahkan, siapa yang bisa menjamin mereka akan berhenti? Tidak ada.
Sebagian pihak mungkin beranggapan bahwa menjalin hubungan baik dengan Israel adalah strategi diplomatik untuk “menyelamatkan Palestina.” Namun realitas menunjukkan yang sebaliknya. Bukan saatnya bermuka manis, tetapi saatnya bersatu memperlihatkan kekuatan. Umat Islam harus bangkit dari tidurnya yang panjang. Nasionalisme dan normalisasi hubungan dengan penjajah tidak akan pernah mampu mengakhiri penjajahan atas Palestina.
Solusi Hakiki dan Jalan Kebangkitan
Umat Islam harus memahami bahwa solusi sejati bukanlah kompromi yang melemahkan, melainkan kebangkitan dan persatuan di bawah naungan Islam. Hanya sistem Islam yang mampu menggerakkan kekuatan negeri-negeri Muslim untuk menghentikan kezaliman dan memaksa penjajah serta para pendukungnya berhenti.
Musuh-musuh Islam pun menyadari betul bahwa persatuan umat Islam adalah kekuatan besar yang mereka takutkan. Sebab Islam bukan sekadar ritual, tetapi sebuah sistem hidup yang meresap ke dalam jiwa dan memandu setiap aspek kehidupan. Dari keyakinan itu lahir api perjuangan—hidup mulia dengan Islam dan siap mati terhormat demi Islam.
Tegaknya Islam sebagai perisai umat akan mencabut penderitaan Palestina dari akar-akarnya dan memukul mundur para musuh Islam. Bukan hanya Palestina yang akan merasakan pembebasan itu, melainkan juga seluruh umat Islam yang kini hidup dalam belenggu kezaliman.
Untuk menjemput kebangkitan itu, umat harus kembali meneladani perjalanan Rasulullah ﷺ—dari dakwah beliau di Makkah, hingga hijrah dan futuhat yang membebaskan negeri-negeri di sekitarnya. Hanya dengan metode itulah kebangkitan hakiki dapat diwujudkan, sehingga Islam kembali menjadi junnah, perisai bagi siapa pun yang hidup di bawah naungannya.
Wallāhu a‘lam bishshawāb.
