Abstrak,-
Malam itu,. Siti duduk termenung di teras rumahnya di Sukabumi. Angin dingin menusuk kulit, tapi yang lebih menusuk adalah pikirannya sendiri. Di tangannya ada secarik kertas : tawaran bekerja di luar negeri. Katanya, gajinya belasan juta. Namun dibalik angka itu, ada risiko yang Siti belum sepenuhnya mengerti.
“Bu, kalau aku berangkat, hidup kita mungkin akan lebih baik,” ucap Siti kepada ibunya yang duduk di sampingnya.
Sang ibu menatapnya lama. “Nak, berapa banyak tetangga kita yang pergi, lalu tak pernah kembali dengan cerita bahagia ?, ada yang pulang tinggal nama. Ada yang jadi korban perdagangan manusia, aku takut itu terjadi padamu.”
Dialog sederhana itu menggambarkan dilema ribuan warga Sukabumi, berdasarkan data resmi. Sukabumi kini, masuk lima besar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tertinggi di Jawa Barat. Katarina, pejabat Kemendagri, menyampaikan langsung dalam kunjungannya ke Pendopo Sukabumi pada Kamis, 25 September 2025. “Jawa Timur yang paling tinggi dan Jawa Barat nomor dua. Sukabumi termasuk wilayah dengan angka kasus menonjol,” ujarnya (25/9/2025).
Luka yang Terulang
Mengapa tragedi ini terus terjadi ?, seorang Sosiolog Prof. Adrianus Meliala menilai, akar masalahnya adalah ruang kosong perlindungan hukum dan sulitnya lapangan kerja di dalam negeri. “Sindikat cepat sekali memanfaatkan celah, korban selalu ada, karena negara belum mampu memberi ruang hidup yang layak,” ujarnya dalam wawancara (12/6/2024) lalu.
Benar saja, korban TPPO tidak hanya orang dewasa, bahkan anak - anak pun ikut terseret. Mereka terjebak rayuan gaji tinggi, padahal sesampainya di negeri orang yang mereka terima justru siksaan dan eksploitasi.
Sistem yang Membuat Lelah
Siti mungkin hanya satu nama, tapi kisahnya mewakili ribuan orang lain. Mereka lelah dengan kemiskinan, mereka frustasi menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus naik serta mereka bosan jadi buruh dengan upah rendah.
Apakah kesalahan mereka jika akhirnya tergoda berangkat ke luar negeri ?, apakah pantas rakyat dibiarkan jadi korban sindikat demi devisa ?
Sistem kapitalisme yang sekarang berjalan, memandang manusia sekadar alat produksi. Nilai manusia diukur dari materi yang bisa dihasilkan, tidak heran jika perdagangan orang tumbuh subur, karena manusia dianggap barang dagangan.
Harapan dalam Islam
Allah SWT., merakit manusia dengan instrumen rumit mengindikasikan betapa superior ciptaannya, hardware dan software teraplikasi, ada yang salah dengan skema penginstalan yang tidak sesuai fabrikasi, yakni Al-Qur'an. Betapa dahsyat peradaban Islam, ketika Al-Qur'an di aplikasikan oleh Bani Umayyah dan Abbasiyah hingga terakhir kerajaan Ottoman, begitulah yang terjadi pasca Al-Qur'an dilalaikan hanya dibaca tanpa ada implementasi content-nya, umat Islam terjebak kedalam kehinaan, eksploitasi dan dijadikan framing oligarki amun Islam. Islam menempatkan manusia, sebagai makhluk mulia yang wajib dijaga kehormatannya. Rasulullah Saw., bersabda : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai. Orang - orang berperang di belakangnya dan berlindung dengan kekuasaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang pemimpin dalam Islam, ibarat tameng. Ia, tidak boleh membiarkan rakyatnya dijadikan tumbal. Negara berkewajiban membuka lapangan kerja, menjamin kebutuhan dasar dan menjaga martabat rakyat.
Bayangkan, jika kekayaan alam negeri ini dikelola dengan amanah. Jika migas, tambang dan harta kepemilikan umum lain dikelola untuk rakyat, bukan untuk segelintir orang. Tidak ada lagi rakyat yang dipaksa mencari sesuap nasi di negeri orang, tidak ada lagi Siti yang harus memilih antara bertahan miskin atau berangkat dengan risiko nyawa.
Penutup
Siti menatap ibunya malam itu, air mata jatuh tanpa ia sadari. “Bu, aku hanya ingin kita bahagia.”
Ibunya memeluknya erat. “Nak, kebahagiaan itu ada di dekat Allah, bukan di janji manis manusia.”
Kisah Siti hanyalah secuil dari lautan jerit rakyat, bahwa TPPO adalah luka nyata. Luka itu tidak akan sembuh jika sistem yang salah terus dipertahankan, hanya dengan kembali pada aturan yang menempatkan manusia sebagai makhluk mulia, luka ini bisa tertutup, dan rakyat bisa benar - benar sejahtera di negerinya sendiri.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).