Ilustrasi,-
Di sebuah kampung kecil di pinggiran kota, tinggal sepasang suami istri bernama Rahmat dan Siti. Mereka, dikaruniai dua anak yang lucu : Amir dan Fatimah. Setiap sore, pak Rahmat pulang dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik, disambut senyum anak - anak yang setia menunggu di depan rumah.
Namun, pak Rahmat menyimpan kegelisahan. Di berita televisi dan medsos, kasus kekerasan anak kian sering muncul. Seorang ayah tega menelantarkan bayinya di pasar, seorang ibu di kota besar tega merekam suaminya yang menyiksa balita mereka. Bahkan ada kabar, tentang pasangan suami istri (pasutri) yang menganiaya anak tetangga hingga tewas. “Apa yang terjadi dengan para orang tua zaman sekarang ?, ” gumam pak Rahmat dalam hati.
Ia pun berbincang dengan istrinya di teras rumah, ditemani secangkir teh hangat.
“Mak, aku takut. Jangan - jangan kita juga bisa terpancing emosi kalau capek dan susah. Banyak orang tua sekarang hilang kesabaran, karena tekanan hidup. ” Ucap pak Rahmat dengan nada pelan.
Siti, mengangguk. “Benar, Pak. Banyak orang terjebak akan himpitan ekonomi. Harga kebutuhan mahal, pekerjaan susah, masalah rumah tangga pun bertambah. Kalau iman lemah, anak bisa jadi pelampiasan,” jawabnya sedih.
Mereka sadar, masalah ini bukan semata soal pribadi. Lingkungan yang individualis, medsos yang menampilkan kekerasan, bahkan sistem hidup yang menomorduakan agama, membuat banyak keluarga kehilangan arah. Padahal, di dalam Islam, rumah harus menjadi tempat paling aman bagi anak. Ayah dan ibu adalah pelindung, bukan ancaman bagi darah dagingnya sendiri.
Pak Rahmat, teringat ceramah Ustaz di masjid semalam. “Dalam Islam, keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Di situlah iman, akhlak dan kepribadian Islam terbentuk. Orang tua harus menjadi guru dan teladan,” ucap sang ustaz.
Ustaz itu juga berkata bahwa Rasulullah Saw., pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pak Rahmat, menghela napas. Ia sadar, sebagai ayah, ia tak hanya mencari nafkah. Ia, juga bertanggung jawab menanamkan iman dan akhlak pada Amir dan Fatimah.
“Mak, kalau semua orang tua paham ajaran Islam yang sempurna, insya Allah anak - anak kita akan aman,” kataq pak Rahmat.
Siti mengangguk. “Iya, Pak. Tapi tak cukup keluarga saja. Negara juga harus membantu baik dalam Pendidikan di sekolah harus menanamkan iman, bukan cuma pengetahuan dunia. Tayangan medsos, harus diarahkan untuk memperkuat moral, bukan merusak akhlak. Kalau semua itu diterapkan, keluarga pasti lebih kuat, ” sahut bu Siti.
Rahmat tersenyum, ia membayangkan betapa indahnya jika negara mengajarkan peran keluarga dalam Islam secara menyeluruh. Seperti di zaman Rasulullah Saw., dan para sahabat, ketika setiap keluarga terdidik dalam iman, negara menjamin kebutuhan hidup dan masyarakat saling peduli satu sama lain. Tak ada anak yang kelaparan di jalan, tak ada ibu yang menelantarkan bayinya. Semua terlindungi dalam naungan, syariat Islam yang kaffah.
Namun pak Rahmat juga tahu, saat ini sistem sekuler dan kapitalis dijadikan paradigma pengaturan kehidupan negara. Pemerintah telah membuat berbagai aturan perlindungan anak, tetapi akar masalah belum tersentuh. Ia, berharap suatu hari nanti sistem Islam bisa diterapkan secara kaffah, agar setiap keluarga terlindungi.
“Mak, kita mulai dari diri kita dulu,” ucap pak Rahmat mantap. “Kita ajarkan Amir dan Fatimah untuk cinta Allah, cinta Rasul. Semoga nanti mereka tumbuh jadi anak soleh dan solehah, melindungi keluarga dan membawa kebaikan.”
Bu Siti tersenyum penuh harap, didalam rumah kecil mereka, harapan besar tumbuh, yakni menjadi keluarga Islami yang melahirkan generasi tangguh di tengah tantangan zaman.
Editor Lilis Suryani
Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)