𝐋𝐈𝐓𝐄𝐑𝐀𝐒𝐈
Pemerintah Kabupaten Sumedang, akan mengembangkan program Food Estate Partisipatif atau budi daya tanaman pangan seiring dengan tantangan yang diberikan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Program bertajuk Food Estate Partisipatif yang digagas akhir 2023 lalu tersebut, sebelumnya hanya satu desa satu hektar. Namun, kini program tersebut akan dibuat menjadi satu desa sepuluh hektar.
Penjabat Pj.Bupati Sumedang menyebut, bahwa program tersebut diapresiasi oleh Kementerian Pertanian sehingga pihaknya diminta untuk melakukan pengembangan program peningkatan kuantitas pangan tersebut.
Seperti yang masyarakat ketahui, proyek food estate adalah bagian dari Program Strategis Nasional Presiden Jokowi dalam rangka kemandirian dan ketahanan pangan yang melibatkan beberapa kementerian, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Pertahanan.
Konsep food estate secara garis besar, merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk melakukan pengembangan pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup pertanian, perkebunan, peternakan pada suatu kawasan tertentu.
Berbeda dengan food estate skala nasional, proyek food estate partisipatif di Sumedang ini, merupakan langkah antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah demi ketahanan pangan di wilayahnya saja dengan skala lebih kecil. Namun, bisakah proyek food estate skala kecil ini mampu mengakomodir kebutuhan pangan masyarakat ?
Padahal food estate skala nasional justru malah menimbulkan masalah besar, sehingga menuai pro dan kontra. Hal ini karena, pengalihfungsian lahan sebelumnya menjadi lahan pertanian menjadikan proyek ini memiliki anggaran besar. Belum lagi, aktivitas dibukanya lahan hutan yang meningkatkan deforestasi dan pemanasan global telah menyebabkan banjir di beberapa wilayah. Kemudian, berdasarkan laporan Walhi 2021, konflik agraria juga terjadi di sejumlah wilayah ketetapan food estate.
Tentu saja ini, mengancam stabilitas lingkungan dan berpotensi memperparah krisis iklim. Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan, realitas ini justru membuktikan adanya perampasan ruang hidup masyarakat dengan dalih ketahanan pangan. Proyek ini, juga tidak meningkatkan taraf hidup para petani karena korporasi justru mengambil alih pekerjaan mereka. Jika korporasi sudah terlibat, maka cita - cita ketahanan pangan negara hanyalah ilusi belaka. Pada akhirnya korporasi yang akan memonopoli segala aktivitas, mulai dari produksi pertanian, distribusi bahan pangan sampai menentukan harga sesuai selera. Tentu miris, ujung - ujungnya masyarakat akan tetap berjibaku dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Beginilah ironi, liberalisasi dalam sektor pertanian.
Masalah pangan, tentu berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat. Negara, adalah pihak yang bertanggung jawab penuh memastikan pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Untuk itu, negara wajib memiliki visi dan misi yang jelas untuk merealisasikan ketahanan pangan yang sesungguhnya dan memang tidak bisa dilemparkan kepada pemerintah daerah saja.
Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah penggembala dan semua akan ditanya tentang gembalaannya, dan seorang Imam (kepala negara) dia akan ditanya tentang gembalaannya.” (HR Al-Bukhari).
Berpijak pada politik pertanian Islam, maka mekanismenya adalah sebagai berikut.
Pertama, meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian, salah satunya adalah dengan menghidupkan tanah-tanah mati. Dalam Islam, tanah mati adalah tanah yang tidak tampak adanya bekas tanah yang diproduktifkan. Tanah mati bisa dihidupkan oleh siapa saja, baik dengan cara memagarinya dengan maksud mengelolanya, ataupun menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya.
Mekanismenya, apabila terdapat tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, hak kepemilikan atas tanah itu akan hilang. Negara akan mengambil alihnya, lalu memberikannya kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya. Dengan begitu, tidak akan ada lahan kosong tanpa ada pemanfaatannya.
Kedua, melakukan intensifikasi pertanian dengan mengoptimalkan lahan pertanian. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, ilmu pertanian yang mumpuni untuk para petani serta kebijakan membangun infrastruktur pertanian dan alat teknologi pertanian yang mutakhir. Hal ini, akan mudah terwujud seiring politik industri negara yang menitikberatkan pada pembangunan industri berat dan strategis, termasuk pertanian.
Ketiga, kebijakan mekanisme pasar yang sehat, yakni larangan penimbunan, penipuan, transaksi ribawi, monopoli dan mematok harga. Adapun dalam pendistribusian pangan, negara mengangkat qadhi hisbah untuk melakukan pengawasan terhadap penjual dan pembeli sehingga tercipta sistem pasar yang sehat. Qadhi hisbah, akan menjatuhkan sanksi jika ditemukan adanya pelanggaran.
Demikianlah paradigma Islam dalam mengatasi persoalan pangan secara komprehensif dan fundamental, ini hanya bisa terwujud ketika sistem Islam diterapkan dalam negara.
Penulis Oleh : Ariefdhianty Vibie, S.S.
Editor 𝐒𝐔𝐑𝐘𝐀𝐍𝐈