Oleh: Putri Efhira Farhatunnisa (Pegiat Literasi di Majalengka)
Media sosial bak pisau bermata dua: bisa memberi manfaat besar, namun juga berpotensi menyesatkan dan merugikan penggunanya. Mirisnya, kini banyak anak dan remaja yang justru terpapar konten pornografi, gaya hidup liberal ala Barat, hingga menjadi korban perundungan online. Tidak sedikit pula yang mengalami tekanan mental berat akibat paparan dunia digital, bahkan nekat mengakhiri hidup ketika menghadapi masalah.
Sebagai respons, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS). Aturan ini mengklasifikasikan batas usia penggunaan media sosial, misalnya: Usia 13 tahun hanya boleh mengakses konten edukasi, usia 13–15 tahun boleh mengakses platform berisiko rendah hingga sedang. Dan usia 16–17 tahun bisa mengakses platform berisiko tinggi dengan pengawasan orang tua. Adapun usia 18 tahun ke atas bebas mengakses seluruh platform. (Cnbcindonesia.com 22/11/2025)
Namun PP ini justru menimbulkan kebingungan. Orang tua tidak diberi informasi jelas mengenai platform mana saja yang masuk kategori risiko rendah, sedang, atau tinggi, apalagi mana yang benar-benar aman untuk edukasi. Meski ada masa penyesuaian dua tahun, persoalan mental remaja tidak bisa menunggu, sebab dampaknya sangat serius.
Faktor Penyebab Rapuhnya Mental
Jika ditelisik lebih dalam, media sosial bukanlah penyebab utama kerapuhan mental anak dan remaja. Media sosial hanya mempertebal kondisi emosional yang sudah ada. Ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan mental generasi semakin rentan.
1. Dominasi Sistem Sekulerisme–Kapitalisme
Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga manusia kehilangan panduan hidup yang benar dan tujuan eksistensinya. Kapitalisme menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan. Akhirnya, masyarakat terjebak dalam persaingan keras yang rentan memicu stres saat gagal, bahkan menghalalkan segala cara demi materi.
2. Media Sosial yang Adiktif dan Menyebarkan Propaganda Asing
Media sosial dirancang membuat penggunanya kecanduan. Waktu berjam-jam terbuang hanya untuk menggulir layar. Paparan konten-konten negatif—yang bertentangan dengan nilai Islam—melemahkan keimanan, bahkan membuat sebagian remaja mempersoalkan kembali ajaran agama. Konten semacam ini tak jarang menjadi bagian dari propaganda pemikiran asing yang menjauhkan umat dari jati diri Islam.
3. Disfungsi Keluarga dan Pendidikan
Kesibukan orang tua demi memenuhi tuntutan ekonomi menyebabkan anak kehilangan tempat berbagi emosi dan teladan utama. Akhirnya anak mencari validasi dari luar, termasuk dari media sosial. Sistem pendidikan yang hanya menekankan akademik tanpa membentuk karakter dan spiritualitas semakin memperparah kondisi.
4. Lemahnya Pemahaman Agama
Minimnya pemahaman tentang ajaran Islam membuat seseorang tidak tahu cara menghadapi ujian hidup. Ia tidak tahu mana yang harus diikhtiarkan dan mana yang harus diserahkan kepada Allah. Akhirnya muncul sikap pragmatis, mudah cemas, dan mudah putus asa.
Dari semua faktor ini, jelas bahwa pembatasan media sosial saja bukan solusi komprehensif. Solusi parsial hanya seperti mengisi ember bocor—tidak menyentuh akar masalah.
Media Sosial sebagai Pisau Bermata Dua
Perilaku manusia lahir dari pemahaman, dan pemahaman terbentuk dari pemikiran. Maka perubahan perilaku hanya dapat dicapai dengan perubahan pola pikir. Media sosial hanyalah produk teknologi. Yang menentukan manfaat atau kerusakannya adalah pengguna.
Jika seseorang memiliki keimanan yang kuat dan pemahaman Islam yang lurus, ia mampu memfilter informasi. Sebaliknya, tanpa pegangan hidup yang kokoh, ia mudah hanyut dalam arus konten negatif.
Peran Negara dalam Membentengi Generasi
Negara memiliki peran besar dalam membentuk karakter individu melalui sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Pendidikan seperti ini akan menguatkan keimanan, memberi arah hidup, serta mengajarkan cara menyikapi berbagai ujian kehidupan.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
"Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
(QS. Az-Zariyat [51]: 56)
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Dari ayat dan hadis di atas, jelas bahwa manusia seharusnya memanfaatkan seluruh fasilitas kehidupan—termasuk teknologi dan media sosial—untuk beribadah kepada Allah, dalam arti menjalankan seluruh aktivitas sesuai syariat.
Oleh karena itu, negara wajib menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, bukan hanya dalam pendidikan, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya generasi berkepribadian Islam, yang tangguh, beriman kuat, dan siap berkontribusi bagi peradaban.
Namun penerapan sistem ini membutuhkan kesadaran dari seluruh umat. Semua lapisan generasi harus memahami bahwa hanya Islam yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan secara komprehensif, karena datang dari Zat Yang Maha Mengetahui kebutuhan manusia.
Kesimpulan
Kerapuhan mental remaja tidak dapat diselesaikan hanya dengan membatasi media sosial. Akar masalahnya jauh lebih dalam: sistem sekuler-kapitalis yang merusak pola pikir, keluarga, pendidikan, dan keimanan. Media sosial hanya memperkuat kondisi yang sudah rapuh.
Solusi hakiki adalah membangun generasi dengan akidah Islam sebagai fondasi, didukung oleh sistem pendidikan dan kebijakan negara yang Islami. Dengan penerapan Islam secara menyeluruh, generasi akan terbina menjadi pribadi yang kuat, berprinsip, dan mampu memanfaatkan teknologi untuk kebaikan dan kemajuan peradaban.
Wallahua'lam bish-shawab.
