elitKITA.Com-Penegakan HAM menjadi salah satu ujian berat bagi Polri dalam melaksanakan fungsinya di era demokrasi. Dalam catatan Komnas HAM (2023) bahwa Polri menduduki peringkat pertama sebagai pihak teradu dalam dugaan pelanggaran HAM dengan total 771 aduan sepanjang tahun 2023. Fakta ini menjadi indikasi serius bahwa reformasi Polri masih menghadapi banyak hambatan, tantangan dan di perlukan solusi-solusi terutama dalam upaya menyeimbangkan tugas menjaga keamanan publik dengan melindungi hak-hak dasar warga negara.
Kasus-kasus yang viral semakin mempertegas ujian demokrasi yang dihadapi Polri untuk melakukan pembenahan. Salah satunya yang viral di sosmed dengan judul Ironi Aksi Polisi Tangkap Orang yang Rugikan Bandar Judol, Jadi Sorotan Legislator di Senayan https://nasional.kompas.com/read/2025/08/09/06252621/ironi-aksi-polisi-tangkap-orang-yang-rugikan-bandar-judol-jadi-sorotan.
KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menilai penangkapan lima orang pemain judi online (judol) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ganjil luar biasa karena seharusnya kasus itu menjadi pintu masuk bagi polisi untuk memburu bandar judol. "Ada keganjilan yang tidak bisa diabaikan," ujar Sudding dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/8/2025). Menurut Sudding, langkah Polda DIY yang bergerak cepat menangkap para pelaku justru menimbulkan tanda tanya publik. Sebab, bandar judi online yang disebut-sebut dirugikan oleh kelima pemain tersebut justru tak tersentuh.
Situasi ini tidak hanya melukai korban dan keluarga, akan tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian sebagai pelindung masyarakat. Peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi oleh Polri dalam menjaga keamanan publik dan melindungi masyarakat.
Fenomena tersebut mencerminkan dilema klasik dalam penegakan hukum di negara demokrasi yaitu bagaimana memastikan stabilitas tanpa melanggar kebebasan sipil. Pendekatan represif yang masih digunakan oleh Polri menunjukkan warisan pola otoritarianisme yang sulit dilepaskan dari institusi. Polri seharusnya berfungsi sebagai penjaga kebebasan berekspresi dan pelindung HAM. Namun, tindakan-tindakan represif ini justru memunculkan persepsi publik bahwa Polri lebih memprioritaskan stabilitas politik daripada penghormatan terhadap kebebasan sipil.
Michel Foucault menyatakan bahwa kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai dominasi langsung, tetapi juga sebagai mekanisme kontrol yang tertanam dalam institusi, norma, dan praktik sehari-hari. Polri sebagai institusi negara, memainkan peran sentral dalam mempraktikkan kekuasaan melalui pengawasan, regulasi, dan penegakan hukum, termasuk dalam menangani demonstrasi dan menjaga keamanan publik.
Menurut Foucault (1977) dalam Discipline and Punish, institusi modern menggunakan kekuasaan untuk menciptakan disiplin dalam masyarakat. Polri yang menggunakan pendekatan represif menggambarkan suatu bentuk disiplin yang berfokus pada pengawasan dan kontrol ketat, di mana kekuatan koersif digunakan untuk menegakkan aturan dan menjaga ketertiban sosial.
Lebih lanjut menurut David Bayley (2006), transformasi kepolisian dalam negara demokrasi membutuhkan komitmen untuk mengadopsi pendekatan yang lebih responsif dan humanis, bukan sekadar mengandalkan kekuatan koersif. Bayley menekankan pentingnya membangun budaya transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat.
Media sosial memainkan peran penting bagi polisi, baik dalam membangun hubungan dengan masyarakat maupun dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Polisi dapat menggunakan media sosial untuk membangun kepercayaan publik, menyebarkan informasi, dan mengumpulkan bukti. Namun, penggunaan media sosial oleh polisi juga menimbulkan tantangan terkait privasi, akurasi informasi, dan kebebasan berekspresi.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait hubungan antara media sosial dan polisi: Manfaat Media Sosial bagi Polisi diantaranya Membangun Kepercayaan Publik dengan cara Polisi dapat menggunakan media sosial untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, memberikan informasi, dan menunjukkan transparansi, sehingga dapat membangun kepercayaan publik.
Penyebaran Informasi melalui Media sosial memungkinkan polisi untuk menyebarkan informasi penting dengan cepat dan luas, seperti informasi terkait keamanan, himbauan, atau pengumuman penting lainnya. Pengumpulan Bukti: Media sosial dapat menjadi sumber informasi berharga dalam penyelidikan, karena memungkinkan polisi untuk mengumpulkan bukti, melacak tersangka, atau mendapatkan informasi terkait suatu peristiwa.
Patroli Siber memiliki unit patroli siber yang bertugas menjaga keamanan di dunia maya, mencegah kejahatan siber, dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang keamanan digital. hal lainya Digital Monitoring, Polisi dapat menggunakan teknologi digital monitoring untuk mengidentifikasi potensi ancaman keamanan, mencegah kejahatan, dan menangkap pelaku kejahatan.
Adapun Tantangan Media Sosial bagi Polisi diantaranya secara Privasi: Penggunaan media sosial oleh polisi perlu memperhatikan privasi masyarakat, menghindari pengumpulan data pribadi tanpa persetujuan. Akurasi Informasi berupa Polisi harus memastikan informasi yang disebarkan di media sosial akurat dan tidak menyesatkan, untuk menjaga kepercayaan publik.
Kebebasan Berekspresi Polisi perlu menghormati hak kebebasan berekspresi masyarakat di media sosial, meskipun ada kritik atau perbedaan pendapat. Stigma Negatif tentang Informasi yang tidak valid atau hoaks tentang polisi dapat menimbulkan stigma negatif terhadap institusi polisi.
Kinerja Polisi berupa Penyebaran konten negatif atau ujaran kebencian terhadap polisi dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam menjalankan tugas. Contoh Penggunaan Media Sosial oleh Polri. Divisi Humas Polri menggunakan media sosial, terutama Instagram, untuk menyebarkan informasi, iklan layanan masyarakat, dan kegiatan Polri lainnya.
Patroli Siber Polri Unit Patroli Siber Polri aktif di media sosial untuk memberikan edukasi, pengawasan, dan penindakan terkait kejahatan siber. dan pada intinya Media sosial telah menjadi alat yang penting bagi polisi, baik untuk membangun hubungan dengan masyarakat maupun dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Namun, penggunaan media sosial oleh polisi perlu dilakukan dengan bijaksana, memperhatikan aspek privasi, akurasi informasi, dan kebebasan berekspresi. Dengan pengelolaan yang baik, media sosial dapat menjadi sarana efektif untuk meningkatkan keamanan dan kepercayaan publik terhadap polis. (a'hendra)