Opini Publik,-
Di sebuah sudut desa di Jawa Barat, seorang anak bernama Raka menatap ibunya dengan wajah bingung. Hari itu Raka, mengeluh demam tinggi. Sang ibu, segera membawanya ke Puskesmas terdekat. Sesampainya disana, harapan sang ibu hanya satu, anaknya bisa segera diobati dan pulang dengan sehat.
Namun, petugas Puskesmas berkata pelan, “Maaf, Bu. Obat untuk penyakit Raka harus ditebus sendiri di luar. Klaim BPJS kami tertunda, karena tunggakan dari pemerintah provinsi belum dibayar.”
Sang ibu terdiam, ia tak membawa uang. Biaya sehari-hari saja pas-pasan, apalagi untuk membeli obat di luar puskesmas. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong.
Layanan Kesehatan yang Masih Tergantung Dana
Kisah Raka bukan rekaan belaka, bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat memang masih memiliki tunggakan pembayaran iuran BPJS Kesehatan ke pemerintah daerah yang nilainya mencapai Rp. 300 miliar. Besarnya angka ini, berisiko mengganggu jalannya layanan kesehatan di berbagai daerah.
Tunggakan ini, membuat sebagian fasilitas kesehatan tak bisa mengklaim dana dari BPJS tepat waktu. Akibatnya, pelayanan pun tersendat. Obat-obatan kurang. Alat kesehatan terbatas. Bahkan, sebagian pasien harus membayar sendiri.
Kondisi ini menunjukkan satu hal, sistem jaminan kesehatan kita masih berlandaskan pada iuran dan kemampuan bayar. BPJS yang berbasis iuran, ternyata rawan goyah bila ada tunggakan. Apalagi, jika kemampuan pemerintah daerah menurun atau terjadi defisit anggaran.
Sebagian ahli menilai, sistem ini tetap membuka celah kesenjangan. Masyarakat dengan daya beli tinggi, bisa memilih rumah sakit atau layanan premium. Sementara masyarakat miskin, seperti keluarga Raka harus pasrah menerima layanan terbatas.
Haruskah Kesehatan Menjadi Barang Dagangan ?
Mengapa kesehatan diperlakukan layaknya barang dagangan ?, seolah siapa yang mampu bayar, dia yang berhak sehat. Padahal, sehat adalah hak dasar manusia dan dijamin oleh negara. Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, kesehatan sering dilihat sebagai sektor bisnis. Rumah sakit berkembang menjadi industri, layanan premium makin marak, rakyat kecil makin tersingkir.
Ini realitas yang patut direnungkan, sampai kapan kesehatan bergantung pada kekuatan iuran rakyat ?
Solusi Islam, Kesehatan Adalah Hak Setiap Warga
Islam datang membawa solusi, dalam sejarah panjang peradaban Islam, kesehatan selalu menjadi tanggung jawab penuh negara. Rasulullah Saw., bahkan pernah mengirim dokter untuk mengobati rakyat tanpa memungut bayaran sepeser pun.
Umar bin Khattab ketika menjadi pemimpin, membangun rumah sakit umum gratis bagi semua rakyat. Semua dana operasional diambil dari Baitul Mal (kas negara), bukan iuran rakyat. Sistem ini membuat layanan kesehatan tak pernah terhenti, bahkan untuk fakir miskin dan musafir.
Allah Swt., berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Rasulullah Saw., bersabda, "Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Negara dalam Islam, memastikan semua rakyat terpenuhi hak dasarnya, meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Lapangan kerja, dibuka secara luas bagi laki - laki supaya bisa menafkahi keluarganya dengan layak.
Harapan di Masa Depan
Bayangkan jika sistem ini diterapkan hari ini, tidak ada lagi keluarga seperti Raka yang harus pulang tanpa obat. Tidak ada rumah sakit yang menolak pasien, karena tunggakan iuran. Semua rakyat, kaya atau miskin, mendapat layanan kesehatan yang layak.
Editor Lilis Suryani.
Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)