(Pengamat Anak dan Remaja)
Mencengangkan. Sebanyak 800 orang anak sekolah dan remaja di Kabupaten Majalengka ternyata telah terjangkit HIV/AIDS, sebagian diantara mereka tengah melakukan pengobatan secara rutin untuk mempertahankan imun mereka, sebagian lagi masih memilih pasif.
Berdasarkan keterangan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka, total penderita HIV/AIDS di Kabupaten Majalengka saat ini mencapai 2.000 orang, dari jumlah tersebut ada 800 orang pelajar dan remaja.
Bupati Majalengka Eman Suherman menyampaikan keprihatinannya atas tingginya penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Majalengka. "Persoalan HIV/AIDS harus segera di lakukan penanganan secara serius dengan menghindari pergaulan dan seks bebas, hindari penggunaan narkoba, dan tidak melakukan hubungan sesama jenis," ujar bupati Eman.
Akar Masalah
Peradaban Barat yang rusak dan merusak memang telah nyata menjadi pangkal segala macam problematik umat manusia. Liberalisme yang terus dipropagandakan Barat menjadi pandangan hidup sebagian besar masyarakat. Salah satu dampaknya adalah tersebarnya HIV/AIDS yang makin tidak terkendali seperti hari ini.
Penularan HIV/AIDS terbesar adalah melalui seks bebas. Gaya pacaran kaum muda sekarang sudah sangat melampaui batas. Berpegangan tangan, berpelukan, bahkan berciuman di ruang publik pun mereka sudah tidak sungkan.
Kohabitasi ‘pasangan yang tinggal bersama tanpa ada ikatan pernikahan’ juga makin marak. Mereka sampai mengatur uang bulanan bersama. Dengan alasan ekonomi pula mereka menyewa kos satu untuk berdua layaknya suami istri. Perilaku ini makin dikenal, terutama di perkotaan.
Ironisnya, aktivitas kumpul kebo ini dianggap lebih baik daripada berganti-ganti pasangan. Padahal, dengan mudahnya mereka putus, lalu “jadian” lagi dengan yang lain, bukankah ini pun bergonta-ganti pasangan? Bukankah pada akhirnya ini pula yang menyebabkan tingginya HIV/AIDS di kalangan remaja?
Disamping seks bebas, fenomena eljibiti seperti lelaki seks lelaki (LSL) menjadi penyumbang tertinggi tertularnya HIV/AIDS. UNAIDS, badan organisasi naungan PBB yang khusus menangani masalah yang berkaitan dengan HIV/AIDS, menyatakan bahwa peningkatan risiko tertular HIV terbesar adalah kelompok LSL (22 kali) dan transgender (12 kali).
Kenakalan remaja lainnya yang menjadi jalan tertularnya HIV/AIDS adalah narkoba, yaitu dengan menggunakan jarum suntik bergiliran. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia termasuk negara tertinggi penyalahgunaan narkoba, bahkan sering disebut “surga narkoba” sebab sangat mudah mengakses barang haram tersebut. Wajar jika anak remaja usia sekolah pun mudah mendapatkan narkoba. Inilah yang juga mengantarkan pada tingginya kasus HIV/AIDS.
Kenakalan remaja yang makin tidak karuan ini tidak bisa terlepas dari arus liberalisasi yang sengaja disuntikkan ke negeri-negeri muslim. Freedom of behavior atau kebebasan bertingkah laku diopinikan sebagai sumber kebahagiaan dan kesuksesan. Tersebab bebas, seseorang akan melakukan banyak hal yang dianggap baru meski hal itu bersifat negatif dan menikmati apa pun yang mereka inginkan.
Manusia dianggap paling paham terhadap apa yang terbaik. Padahal, manusia pernah tahu secara utuh apa yang terbaik buat dirinya. Buktinya, jika dibebaskan, justru mereka malah rusak.
Mirisnya, alih-alih dibuang, liberalisme malah seolah didukung penuh oleh negara. Memang salah satu fungsi negara dalam demokrasi adalah harus melindungi hak asasi manusia (HAM), yakni kebebasan bertingkah laku, berpendapat, bahkan beragama. Oleh karena itu, agama dianggap mengekang kebebasan manusia dan tidak sesuai dengan HAM.
Inilah kebusukan liberalisme yang lahir dari paham sekuler, yakni memalingkan kaum muda muslim dari agamanya sendiri. Lihat saja betapa media sosial sebagai “sahabat dekat” anak-anak remaja malah menjadi tools paling signifikan dalam membebaskan tingkah laku mereka. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan iman, nyatanya malah mengukuhkan sekularisme dalam jiwa-jiwa kaum muda.
Regulasi juga dibuat sedemikian rupa agar paham kebebasan ini terus menjadi pakem para pemuda. UU TP-KS yang disahkan, tampak cenderung membolehkan aktivitas zina yang “aman” (kondom). Begitu pun Industri pornografi, terus menyasar kaum muda, padahal kebebasan inilah yang justru menjadi pangkal naiknya angka HIV/AIDS.
Solusi Islam
Syariat Islam memerintahkan umatnya agar perbuatannya senantiasa terikat dengan hukum syara'. Hal ini agar semua yang ia lakukan adalah kebaikan dan penuh keberkahan.
Akar persoalan kasus HIV/AIDS adalah makin liberalnya masyarakat, termasuk kaum muda. Sudah semestinya solusi atas permasalahan ini adalah dengan mencabut pemikiran busuk (sekularisme liberalisme) dari umat. Wajib untuk menyampaikan Islam secara utuh pada umat, termasuk aturan pergaulan lelaki dan perempuan.
Islam tidak akan memberi celah bagi liberalisme untuk terus berkembang. Seluruh sektor akan bersinergi mewujudkan masyarakat Islami. Sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam akan mewujudkan pemuda yang berkepribadian Islam. Perlindungan diri pun akan terbentuk. Sistem ekonomi yang kukuh akan mengantarkan rakyatnya sejahtera sehingga tidak akan ada orang-orang berbuat maksiat dengan alasan ekonomi.
Begitu pun keluarga, ia akan menjadi benteng pertama dalam mengukuhkan akidah individu di dalamnya. Jangankan bermaksiat, melakukan amal yang sia-sia saja mereka enggan. Media akan dikontrol penuh oleh negara sehingga tidak akan menstimulus keburukan. Industri pornografi juga akan diberantas.
Sanksi yang ada akan sangat menjerakan pelaku kejahatan. Misalnya, para pezina mendapat hukuman jilid atau rajam. Pelaku liwat (homoseks) mendapat hukuman mati. Di sisi lain, sistem kesehatan akan sangat prima merawat orang-orang sakit, termasuk mereka yang terjangkit HIV/AIDS (ODHA) hingga sehat dan bertobat.
Jika semua sektor menerapkan syariat Islam, persoalan HIV/AIDS akan selesai. Masyarakat akan kembali menjadi masyarakat Islam. Begitu pun para pemuda, akan menjadi sebaik-baik manusia, yakni mampu memimpin bangsa. Semua itu niscaya terwujud dalam pengaturan syariat Islam secara kafah.
Wallahu a'lam bishshawab.