INSAN PERS
Secara prinsipal seorang jurnalis dalam menjalankan tugasnya, meletakkan nilai profesionalismenya pada kode etik jurnalistik serta tugas pers yang mana dilindungi oleh undang - undang pokok pers no. 40 tahun 1999. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)".
Sedangkan terkait kebebasan pers, bahwa setiap wartawan memiliki hak dalam mencari, menerima dan menyampaikan informasi tanpa campur tangan atau tekanan dari pemerintah atau pihak lain, seperti tertuang pada pasal 6 (UU Pokok pers no.40 1999).
Sehingga mengingat hal itu, Wakil Kepala Polri Komjen Pol. Agus Andrianto, mengatakan jika produk Jurnalis yang berlandaskan kepada mekanisme perilisannya seperti tersebut diatas termasuk perusahaannya tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, tidak dapat dibawa ke ranah pidana.
"Yang termasuk ranah pidana ialah pembohongan publik, apabila produknya tidak mengacu kepada kode etik. Yakni kontennya bermuatan opini serta tidak berimbang, itu yang bakal kena jerat UU ITE," ungkap Agus seperti dikutip dari inilah Kamis, 8 Februari 2024.
Sebagaimana diketahui Polri bersama Dewan Pers, telah membuat nota kesepahaman terkait dengan pelaksanaan kerja kedua belah pihak, kesepakatan tersebut memiliki fungsi agar memberikan ruang kebebasan pers lebih terbuka lebar serta tersistematis.
Kepada seluruh anggota kepolisian Agus, mengingatkan dalam pengimplementasiannya harus menggunakan mekanisme sengketa pers sesuai aturan yang ditetapkan Dewan Pers serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Diupayakan, penegakan hukum itu menjadi pintu terakhir selama masih bisa ditempuh klarifikasi, mediasi dengan para pihak. Kalau sudah mentok, baru diputuskan apakah penyelidikannya dilanjut atau tidak,” kata Agus.
Ditambahkan terhadap hal tersebut, menurut Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Irjen Pol. Dedi Prasetyo, informasi yang beredar di masyarakat terklasifikasi kepada dua bagian, media sosial dan media massa siber. Media sosial, kata dia, dibuat tanpa konfirmasi maupun diklarifikasi. Adapun media massa siber sebaliknya, ada sistem yang menjadi regulasi terhadap kinerjanya sehingga produknya menghasilkan data dan fakta sesuai relevansi. Bahkan, eksistensinya diakui negara menjadi pilar ke empat dalam demokrasi.
"Perbedaannya Media perusahaan pers, bisa dikonfirmasi maupun dimintai klarifikasi apabila terjadi kekeliruan pemberitaan. Dan, semua produk yang dihasilkan dilindungi Undang - undang. Saat ini kecepatan informasi di media sosial bisa mencakup semua tanpa batas waktu dan wilayah, " terangnya.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri periode 2021-2023, tersebut lebih lanjut menguraikan untuk itu dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis harus mengedepankan profesionalitas dengan memberikan suguhan yang memberikan pengetahuan, petunjuk, pendidikan serta wawasan terhadap pembaca dimana konsep tersebut tidak ada dalam produk Media massa.
"Produk jurnalistik justru memberikan sosialisasi, edukasi dan memberikan pencerahan bagi masyarakat. Inilah yang tidak dimiliki produk atau konten, ada di media sosial yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, kami berharap media turut memerangi konten apapun yang berbau hoaks, karena di sisi lain media juga punya tanggungjawab besar terhadap negeri ini," tutup Dedi. (Tazeri)
Editor Toni Mardiana.