Belakangan ini masyarakat dikejutkan oleh beberapa perilaku remaja yang di luar nalar—perilaku yang seharusnya tidak terlintas sedikit pun dalam benak seorang remaja. Usia yang seharusnya digunakan untuk belajar, kini banyak tersita oleh kondisi yang tidak sesuai fitrah: perundungan. Perilaku mereka bak sekam dalam api. Para remaja korban bullying mencari ajang trending karena tidak memiliki ruang untuk bercerita, apalagi mendapatkan perlindungan dari perundungan yang marak terjadi saat ini.
Seperti yang terjadi di Aceh Besar, seorang santri ditetapkan sebagai tersangka kasus terbakarnya asrama pondok pesantren tempat ia belajar. Diduga pembakaran asrama ini dilakukan karena tersangka kerap menjadi korban bullying teman-temannya (www.beritasatu.com, 08/11/2025).
Kemudian, seorang siswa menjadi pelaku ledakan di SMAN 72 yang diduga juga merupakan korban bullying. Siswa tersebut mencoba bunuh diri sekaligus membalas dendam karena telah diejek teman-temannya.
Sungguh mengkhawatirkan perilaku para korban bullying yang sudah membahayakan diri sendiri bahkan orang lain. Seorang santri di Aceh Besar merasa sakit hati karena menjadi korban bullying teman pondoknya. Begitu juga siswa SMAN 72 yang meledakkan bom di lingkungan sekolah karena kerap dirundung. Mereka terdorong melakukan hal tersebut akibat sering diejek, dikucilkan, bahkan dilecehkan. Muncul keinginan untuk membalas perlakuan itu karena merasa tidak dihargai, tertekan, dan depresi.
Banyak kejadian serupa yang terulang di berbagai daerah. Fenomena berpola ini menjadi bukti adanya problem sistemik dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang memisahkan kehidupan dengan agama menyebabkan aktivitas menuntut ilmu dilakukan sebatas kewajiban semata. Orientasi hanya tertuju pada hasil, melupakan proses bertumbuh yang semestinya dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh kesabaran. Faktanya, peserta didik disibukkan dengan kurikulum yang selalu berubah, sementara pendidikan dijadikan bahan percobaan dan lahan bisnis.
Media sosial juga turut memperparah aksi bullying. Tontonan media sosial dijadikan referensi, lalu dinormalisasi sebagai bahan candaan dan permainan. Budaya mengejek melekat erat dalam pergaulan remaja, baik secara verbal maupun nonverbal. Film juga kerap menampilkan tokoh psikopat atau remaja dengan gangguan mental yang menunjukkan adegan mencelakai bahkan membunuh. Alhasil, remaja yang mengalami krisis adab dan berada dalam sistem pendidikan yang disfungsional mudah meniru aksi pelampiasan kekerasan dari media sosial.
Korban bullying juga menjadikan media sosial sebagai rujukan untuk melakukan tindakan berbahaya sebagai bentuk pelampiasan kemarahan. Candaan berlebihan yang dianggap biasa ditiru demi melampiaskan sakit hati dan kekecewaan karena dibully. Padahal Islam melarang mengejek: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain; boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka…” (QS. Al-Hujurat: 11).
Video tidak pantas dan penuh kekerasan mudah diakses, lalu dijadikan standar perilaku. Sangat miris ketika remaja hanya disuguhi tontonan tanpa pengawasan orang tua dan tanpa regulasi yang memadai dari pemerintah. Kondisi remaja yang masih labil seharusnya diimbangi dengan sumber rujukan perilaku yang benar serta batasan jelas terhadap informasi dari media sosial.
Sistem pendidikan sekuler kapitalistik yang berfokus pada materi telah gagal membentuk kepribadian Islam. Mereka cerdas secara intelektual tetapi kosong dalam nilai ruhiyah. Tujuan pendidikan sekuler yang buram dan tidak jelas membuat pelajar kehilangan arah. Mereka dijejali ilmu tanpa ditanamkan pola pikir dan pola sikap Islam. Inilah muara kekacauan perilaku remaja yang banyak melakukan tindakan membahayakan akhir-akhir ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa mereka hilang arah dan sangat membutuhkan pertolongan.
Islam Memiliki Arah Pendidikan
Sistem pendidikan saat ini membutuhkan rekonstruksi ulang agar tidak menumbuhsuburkan gejala bullying. Pendidikan harus memiliki tujuan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Dasar Pasal 172: “Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Metode penyampaian pelajaran dirancang untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tujuan tersebut dilarang.”
Kepribadian Islam yang dimaksud adalah pola pikir yang sesuai dengan pola sikap Islam, yang kemudian menjadi karakter khas seorang remaja muslim. Mereka akan mampu mengatur tingkah laku dengan benar tanpa terbawa pengaruh tontonan media sosial. Proses pendidikan dilakukan melalui pembinaan intensif yang membentuk pola pikir dan pola sikap Islami, tidak hanya terfokus pada nilai materi, tetapi juga nilai maknawi dan ruhiyah.
Remaja membutuhkan arahan mengenai adab dan perilaku yang benar. Semua pihak bertanggung jawab menanamkan karakter kuat kepada pelajar. Dimulai dari keluarga yang berperan menanamkan akidah yang kuat serta keyakinan bahwa tujuan belajar adalah meraih ridha Allah.
Lingkungan masyarakat pun wajib mendukung suasana belajar yang kondusif demi menumbuhkan semangat menuntut ilmu untuk menjadi generasi cemerlang. Terlebih negara, yang harus menjadi pelayan utama dalam menjamin akses pendidikan bagi setiap rakyat, menyediakan pengajar yang kompeten, serta memastikan “kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam” (Rancangan Undang-Undang Dasar, Pasal 170).
Kurikulum berbasis akidah Islam akan menghasilkan pelajar dengan keyakinan yang kuat kepada Allah. Proses belajar dijalani dengan sepenuh hati dan kesungguhan, tidak mudah terpengaruh tsaqafah selain Islam. Pelajar akan dicetak menjadi generasi tangguh dan cemerlang, dengan keyakinan bahwa Allah akan memberi kemudahan dalam proses menuntut ilmu. Terlebih ketika adab dijadikan dasar pendidikan. Adab sebelum ilmu harus diutamakan. Sebab ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kesombongan dan menghilangkan keberkahan.
Solusi-solusi Islam ini hanya dapat diwujudkan ketika negara berperan sebagai penjamin utama terselenggaranya pendidikan. Pendidikan dalam Islam berorientasi mencetak generasi yang takut kepada Allah, sehingga mereka bersungguh-sungguh dalam menerima pengajaran, rajin, dan mau mengamalkan apa yang dipelajari. Negara juga bertugas melakukan pembinaan moral terhadap remaja.
Pendidikan moral atau adab harus ditanamkan sejak dini agar remaja memiliki dasar kuat dalam berinteraksi di keluarga dan masyarakat. Generasi Islam akan memiliki mental pejuang, bukan pecundang. Tidak akan terbersit keinginan untuk mengejek apalagi melakukan perundungan. Generasi Islam diarahkan menjadi remaja yang bertakwa, karena “Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Remaja korban bullying berhak mendapatkan perlindungan untuk mencegah mereka melakukan balas dendam demi mencari ajang trending. Harus ada sanksi tegas terhadap pelaku agar menimbulkan efek jera dan mencegah orang lain meniru. Penerapan aturan Islam meniscayakan hilangnya bullying dari muka bumi, sehingga pelajar dapat fokus menuntut ilmu untuk mengembalikan kehidupan Islam yang gemilang.
Wallahu a’lam bish-shawab.
