Di Kota Bandung, jabatan tampaknya lebih sering diperlakukan seperti komoditas lelang daripada amanah publik. Beberapa pejabat yang mestinya menjaga wibawa pemerintahan justru sibuk merawat kepentingan pribadi, memoles pencitraan, dan menata jaringan kekuasaan mereka sendiri.
Ketika warga berjuang menghadapi sampah, banjir, dan penggusuran, sebagian pejabatnya justru sibuk menjaga kursi agar tetap aman bukan menjaga kota agar tetap layak huni.
Mereka hadir di spanduk, absen di lapangan; cepat menandatangani proyek, lambat menandatangani solusi; dan ketika masalah meledak, semuanya serentak pura-pura tidak tahu siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.
Bandung tidak kekurangan orang pintar. Bandung hanya kekurangan pejabat yang berani jujur, hadir, dan bekerja tanpa menyembunyikan agenda terselubung di balik meja rapat.
