Catatan Redaksi,-
Belum lama ini Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM), melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke pabrik PT. Aqua di Kabupaten Subang. Sidak tersebut, berawal dari aduan masyarakat sekitar terkait longsor di area aliran air yang menimbulkan beragam reaksi publik dan pandangan netizen.
Dalam sidak tersebut, semua pihak PT. Aqua dan jajarannya mendampingi KDM dengan rasa was - was hingga mengarah pada lokasi area longsor dan melebar informasi kearah pengolahan sumber mata air yang mencengangkan publik.
Mengarah pada keterangan pihak PT. Aqua yang beredar di publik, disebutkan bahwa air kemasan Aqua berasal dari mata air alami. Namun, hasil penelusuran langsung KDM di lapangan justru menunjukkan bahwa air diperoleh melalui proses pengeboran tanah.
Sebagian besar masyarakat selama ini meyakini, bahwa air minum dalam kemasan merek Aqua bersumber dari mata air pegunungan alami. Namun setelah informasi dari hasil sidak KDM tersebar luas, banyak konsumen mengaku geram dan kecewa, karena klaim “air pegunungan” dinilai tidak sesuai dengan fakta lapangan yang ditemukan.
Tayangan di akun resmi KDM, dijelaskan bahwa sumber air Aqua berasal dari lokasi yang digambarkan masyarakat sebagai tempat “Dayang Sumbi mandi” — sebuah kawasan yang dulunya menjadi sumber air alami yang diolah masyarakat sekitar. Pasca terjadinya longsor, diduga pihak PT. Aqua melakukan pengeboran air tanah sebagai sumber baru untuk kebutuhan produksi.
Publik pun mulai mempertanyakan keabsahan iklan produk Aqua yang selama ini menampilkan narasi “100% dari sumber mata air pegunungan”, dikutip dari Bisnis.com. Pihak PT. Aqua telah memberikan klarifikasi, bahwa seluruh proses pengambilan air dilakukan sesuai izin dan prosedur sumber daya air yang berlaku berdasarkan ketentuan pemerintah.
Namun, menurut Dr. KH. Aep Tata Surya selaku akademisi manajemen dan praktisi hukum, persoalan ini tidak bisa dianggap ringan.
“Apabila benar terdapat perbedaan antara klaim iklan dan kenyataan di lapangan, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai indikasi kebohongan publik. Produk semacam ini seharusnya dievaluasi atau ditarik sementara dari peredaran sampai kejelasan faktanya terbukti,” tegasnya.
“Sangat disayangkan, apabila promosi yang ditampilkan tidak sesuai dengan hasil produksi. Hal ini menimbulkan kekecewaan dan dapat merugikan konsumen,” tambahnya.Ia juga menyinggung aspek hukum yang berkaitan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang - Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008, mengatur tentang larangan penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen dalam transaksi elektronik.
“Pelanggaran terhadap pasal ini bisa dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar,” jelasnya.
Masih menurut KH. Aep, secara subjektif produsen mungkin menganggap promosi semacam itu sekadar strategi marketing, namun secara objektif hukum, hal tersebut bisa menjadi pelanggaran yang berdampak pidana.
Terlebih lagi, penayangan iklan di TV nasional yang menggambarkan sumber air pegunungan ternyata tidak sejalan dengan kondisi di lapangan.
“Kekecewaan konsumen dapat menjadi bukti awal, adanya pelanggaran. Dan, temuan KDM sebagai Gubernur Jawa Barat yang telah melakukan cross-check langsung ke lokasi menjadi bukti kuat bahwa ada sesuatu yang perlu diklarifikasi secara hukum dan transparan,” pungkasnya.
Redaksi masih menunggu tanggapan resmi dari pihak PT. Aqua dan instansi terkait, untuk memberikan keseimbangan informasi bagi publik. (Redaksi)
Editor Toni Mardiana.
