Abstrak,-
Suatu siang di sebuah sekolah dasar di Jawa Barat, seorang ibu guru berlari panik ke ruang kelas. “Anak - anak, siapa yang merasa pusing setelah makan tadi ?, ” tanyanya dengan suara bergetar. Beberapa siswa mengangkat tangan, wajah mereka pucat, sebagian muntah di meja. Piring - piring plastik yang semula penuh makanan kini berjatuhan ke lantai.
Diluar sekolah, ambulan berjejer. Tangis orang tua pecah. “Kenapa bisa begini, Bu ?, katanya makan bergizi gratis ?, ” teriak seorang ayah sambil menggenggam tangan anaknya yang lemas. Guru itu hanya terdiam, matanya basah. Ia tahu program yang digadang-gadang, sebagai penyelamat generasi malah menorehkan luka.
*Antara Harapan dan Luka*
“Padahal niatnya baik, pak, ” kata seorang pejabat DPRD saat diwawancara. “Tapi kasus ini harus jadi bahan evaluasi, ” ucapannya benar. Namun di hati rakyat, luka itu terlanjur dalam. Harapan yang semula menggembirakan, kini tercampur getir.
Seorang profesor kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia pernah berkata, “Distribusi makanan massal tanpa kontrol ketat hanya akan menambah masalah.” Pernyataan itu bukan ramalan, melainkan peringatan. Kini, kita semua melihat buktinya.
*Dialog di Warung Kopi*
Di sebuah warung kopi, dua bapak duduk membicarakan tragedi itu. “Lihatlah, katanya program untuk atasi stunting. Tapi kenapa malah bikin anak-anak keracunan ?, ” ujar yang pertama.
“Begitulah, program besar, anggaran besar, tapi kontrol kecil. Negara hanya jadi fasilitator, sisanya diserahkan ke bisnis, ” jawab kawannya. “Kalau begini, rakyat yang jadi korban. Lagi - lagi, kepentingan modal lebih besar dari nyawa manusia.”
Keduanya terdiam, menyeruput kopi yang kini terasa pahit.
*Aroma Bisnis di Dapur Rakyat*
Ironisnya, di tengah kegaduhan keracunan, muncul ide baru : MBG akan diasuransikan. “Supaya risiko bisa ditanggung pihak ketiga,” kata seorang pejabat. Tapi rakyat bertanya, bukankah pengawasan, penjaminan dan keselamatan adalah kewajiban negara ?, mengapa harus diperdagangkan kepada perusahaan asuransi ?
Kadin pun masuk, membuka peluang industrialisasi pangan. Dari dapur rakyat, aroma bisnis tercium. Program yang semestinya penuh kasih, berubah menjadi ladang keuntungan.
*Cahaya dari Sejarah*
Namun Islam memberikan jalan yang berbeda,. Rasulullah Saw., bersabda : “Imam, adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Tugas negara bukan sekadar memfasilitasi, melainkan menjamin kebutuhan rakyat dengan penuh amanah.
Bayangkan kembali masa lalu, di Kekhilafahan Utsmaniyah, berdiri imaret, dapur umum wakaf yang menyiapkan makanan bergizi gratis setiap hari. Dari abad ke-14 hingga abad ke-19, rakyat dari berbagai latar belakang mendapat bagian. Tidak ada kontraktor, tidak ada asuransi, tidak ada aroma bisnis. Yang ada, hanyalah negara yang hadir dengan penuh cinta.
Seorang ibu yang anaknya selamat dari keracunan berkata lirih, “Kami tidak butuh asuransi. Kami butuh makanan yang benar - benar aman, kami butuh negara yang peduli, bukan negara yang berbisnis. ” Kata - kata itu sederhana, namun menggetarkan.
Di balik piring yang jatuh, ada pesan besar : generasi tidak bisa tumbuh sehat dengan program tambal sulam, mereka butuh jaminan nyata, bukan janji populis. Islam menghadirkan sistem itu, negara memastikan pangan murah, distribusi adil dan kebutuhan dasar terpenuhi.
Kita ingin melihat anak - anak berlari sehat, bukan terbaring di rumah sakit. Kita ingin mendengar tawa mereka, bukan tangis orang tua di depan ambulan. Jalan menuju cita - cita itu bukan melalui kapitalisasi pangan, melainkan dengan sistem yang menempatkan rakyat di hati negara.
Islam menuntun kita ke arah itu, sebuah sistem yang tidak menjadikan perut rakyat sebagai komoditas, melainkan sebagai amanah. Sebab generasi, adalah tiang peradaban dan peradaban tidak boleh berdiri di atas derita mereka.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).