Abstrak,-
“Aisyah, sudah siap?, bibitnya jangan sampai kering. Ya,” ucap petugas KUA sambil menyerahkan bibit pohon mahoni.
Hari itu Aisyah dan Fajar berdiri di halaman kantor KUA, setelah ijab kabul, mereka diminta menanam pohon sebagai syarat pernikahan. Dengan hati berdebar Aisyah, menekuk lutut, menimbun tanah di sekitar bibit kecil itu.
“Mas, apa pohon ini akan cukup menjaga bumi kita ?, ” bisiknya.
Fajar menarik napas panjang, “tidak sayang. Tapi mungkin ini cara, agar kita belajar mencintai alam.”
Aisyah tersenyum tipis, namun hatinya bertanya. Bagaimana mungkin dua anak manusia yang baru hendak mengarungi bahtera rumah tangga memikul beban sebesar menjaga bumi ?, bukankah negara yang seharusnya memastikan hutan tidak dirambah, sungai tidak dikotori dan udara tetap segar ?.
Bayangan tentang hutan yang ditebang habis, sungai yang dipenuhi limbah dan udara yang sesak menari dalam pikirannya. Ia sadar, satu pohon tidak akan cukup menebus kerusakan yang lahir dari sistem rakus bernama kapitalisme.
Sistem yang Rusak
Kerusakan lingkungan hari ini bukan sekadar, karena masyarakat kurang menanam pohon. Akar masalahnya, jauh lebih dalam : industrialisasi yang serakah, deforestasi besar-besaran dan pencemaran sungai akibat limbah pabrik. Semua itu lahir dari paradigma kapitalisme-sekuler, hanya mengejar keuntungan tanpa peduli pada keseimbangan alam.
Kebijakan menanam pohon sebelum nikah tampak indah di permukaan, namun hakikatnya hanya simbolik. Masalah utama justru terletak pada sistem pengelolaan lingkungan yang belum berpihak pada rakyat, beban yang seharusnya dipikul negara, justru dialihkan pada pundak rakyat kecil.
Solusi Islam
Islam, menawarkan jalan keluar yang lebih kokoh. Allah Swt., menegaskan “Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS Al-A’raf: 56).
Rasulullah Saw., bersabda. “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara : air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis ini, menegaskan bahwa sumber daya alam adalah milik umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam sistem Islam, penguasa tidak boleh melepaskan hutan, sungai atau tambang pada korporasi. Negara wajib menjaga, mengatur dan melindungi alam agar tetap lestari. Negara juga memastikan kebijakan pembangunan sejalan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin, bukan merusak.
Pernikahan, adalah ikatan suci, bukan sekadar kontrak sosial, melainkan ibadah agung untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Calon pengantin, seharusnya fokus mempersiapkan diri menjadi suami yang qawwam dan istri yang shalihah. Mereka tidak layak dipaksa, menanggung beban negara yang lalai menjaga lingkungan.
Negara-lah yang wajib menanggung amanah itu, menjaga hutan, mengelola energi dan memastikan lingkungan tetap sehat adalah tanggung jawab negara. Dengan begitu, pasangan muda bisa memulai rumah tangga dengan tenang, tanpa khawatir anak - anak mereka tumbuh di bumi yang kian rusak.
Penutup
Aisyah menatap pohon kecil yang baru ia tanam, “mas. Aku ingin, anak - anak kita tumbuh di bumi yang hijau, aman dan penuh berkah.”
Fajar menggenggam tangannya. “Insya Allah, sayang. Jika, negeri ini kembali pada aturan Allah, cinta kita bukan hanya menumbuhkan keluarga, tapi juga menjaga bumi warisan generasi.”
Hanya dengan Islam kafah, cinta bisa tumbuh di bumi yang subur, rumah tangga berdiri di atas lingkungan yang terjaga, dan pernikahan menjadi awal kehidupan yang penuh berkah.
Editor Lilis Suryani.
Oleh: Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)