
Abstrak,-
“Bu, teman saya ditangkap polisi… Katanya, karena sabu.”
Kalimat itu meluncur lirih dari bibir Dini, siswi SMA yang duduk di hadapan saya dengan wajah muram. Matanya basah, tangannya bergetar dan suaranya nyaris tak terdengar.
Saya diam, ada getir yang menyesak di dada. Teman Dn bukan anak pertama yang saya dengar terjerat kasus narkoba, tapi setiap kali mendengarnya, hati saya selalu berguncang. Saya bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan generasi kita ?
Beberapa hari kemudian, berita besar memenuhi layar ponsel saya.
“Polda Jabar Gagalkan Peredaran Narkoba Jaringan Internasional, 17,6 Kg Sabu dan 19,5 Kg Ganja Disita.”
(16 Oktober 2025)
Saya membaca ulang judul itu, berulang kali. Ada rasa bangga dan haru pada aparat yang berjuang, namun disisi lain, ada tanya besar yang terus menggema di kepala : kenapa narkoba tidak pernah benar - benar hilang ?
Bukankah sudah banyak yang tertangkap ?, sudah banyak yang dipenjara ?. Lalu mengapa racun ini terus hidup, bahkan menjalar lebih jauh ?
Saya teringat percakapan dengan seorang sahabat lama, seorang penyuluh BNN.
“Selama narkoba masih jadi barang mahal, akan selalu ada yang menjual,” katanya sambil menatap jauh ke luar jendela. “Kami, seperti memadamkan api yang disiram bensin.”
Saya mengangguk pelan, kalimat itu sederhana tapi menghantam hati.
Perang melawan narkoba seolah tak pernah sampai ke akar, kita sibuk mengejar kurir dan pengedar kecil, sementara sistem yang menciptakan permintaan tetap berdiri kokoh.
Betapa perang ini masih berada di hilir, sementara hulu dibiarkan bebas mengalirkan racun ke seluruh tubuh bangsa.
Dari data BNN, sepanjang 2021–2023, aparat menyita lebih dari 5,6 ton sabu dan 6,4 ton ganja. Jumlah yang tak masuk akal, tapi nyata. Dan, lebih menyakitkan banyak kasus justru dikendalikan dari balik jeruji.
Saya terdiam lama membaca berita itu, sungguh ini bukan sekadar perang melawan narkoba, ini perang melawan moralitas yang tergerus sistem.
Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, bahwa Kepala BNN mengungkapkan anggaran pemberantasan narkoba tahun 2026 hanya Rp. 1,02 triliun, turun 58 persen dari tahun sebelumnya.
Saya menelan ludah, jumlah itu bahkan tak cukup untuk program rehabilitasi.
Bagaimana mungkin kita berharap menang, jika amunisi kian berkurang ?
Apalagi saat BNN, menyatakan pengguna narkoba tak akan ditangkap, melainkan direhabilitasi. Tentu, pendekatan kemanusiaan penting. Tapi jika tanpa efek jera, bagaimana kita melindungi generasi muda dari jebakan yang sama ?
“Kalau tidak ada ketegasan, mereka akan mengulang. Bu,” kata Dn suatu hari di sekolah, menatap saya dengan mata bening. “Teman saya sudah keluar dari rehab, tapi balik lagi.”
Saya tak sanggup menjawab dalam hati, saya tahu bahwa masalah ini tak lagi sekadar perilaku individu, tapi sistem yang membiarkan akar penyakitnya tetap tumbuh.
Racun yang Disemai oleh Sistem
Narkoba tak tumbuh sendiri, ia tumbuh di tanah yang disirami oleh sistem kapitalisme, yakni sistem yang menjadikan uang sebagai ukuran segalanya.
Selama masih ada keuntungan, tak peduli betapa jahat barang itu, ia tetap akan diproduksi dan dijual.
Kapitalisme mengajarkan kebebasan tanpa batas, ia menyingkirkan agama dari ruang publik. Ia menanamkan gagasan, bahwa manusia berhak melakukan apa pun selama menguntungkan.
Maka, ketika iman melemah dan hidup kian berat, narkoba menjadi pelarian. Sungguh, ini bukan sekadar tentang hukum dan aparat. Ini tentang akidah yang telah diganti dengan nafsu, sistem yang menjauh dari Sang Pencipta.
Cahaya dari Arah yang Terlupa
Islam datang bukan untuk menambal luka, tapi menyembuhkannya hingga ke akar.
Rasulullah Saw., bersabda :
“Rasulullah Saw., melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (mufattir).”
(HR Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam pandangan Islam, narkoba bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan dosa besar yang mengancam akal—anugerah tertinggi manusia.
Dalam sistem pemerintahan Islam, barang haram tidak diizinkan beredar. Siapa pun yang memproduksi, mengedarkan atau mengonsumsi, akan dihukum takzir, dari cambuk hingga hukuman mati, tergantung tingkat bahayanya.
Tapi hukuman bukan segalanya, kunci utamanya ada pada pendidikan dan ketakwaan.
Negara Islam menanamkan pemahaman sejak dini, bahwa setiap perbuatan dinilai oleh Allah SWT., bukan sekadar hukum manusia.
Maka, generasi tumbuh bukan hanya pintar, tapi takut berbuat salah.
Mereka sadar, bahwa narkoba bukan sekadar zat berbahaya, melainkan jalan menuju kehancuran dunia dan akhirat.
Harapan yang Tak Boleh Padam
Malam itu, saya berdiri dibalkon sekolah setelah kegiatan literasi. Langit Bandung cerah, bintang - bintang menggantung indah. Dn menghampiri saya, tersenyum kecil.
“Bu, saya mau jadi penyuluh narkoba nanti. Biar teman - teman saya nggak salah jalan, ”ucapnya.
Saya menatapnya lama, ada harapan yang tumbuh dimatanya.
Saya tahu, perjuangan ini belum selesai. Tapi selama masih ada anak muda seperti Dn, selama masih ada aparat jujur yang bertugas dengan hati dan selama masih ada iman di dada manusia, maka kita belum kalah.
Namun, untuk benar - benar menang, bangsa ini harus berani berubah dari akar. Bukan hanya memperbaiki undang - undang, tapi mengganti arah kehidupan.
Dari kapitalisme yang membebaskan nafsu, menuju Islam yang menuntun hati.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, sebagai penjelas bagi segala sesuatu serta petunjuk dan rahmat bagi orang - orang yang beriman.”
(QS. An-Nahl: 89)
Hanya di bawah cahaya Islam, racun itu akan benar - benar lenyap.
Dan negeri ini akan kembali harum seperti dulu, saat iman masih menjadi napas kehidupan.
Editor Lilis Suryani
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)