elitkita.com // Literasi fiskal adalah kemampuan memahami bagaimana anggaran publik dirancang, dikelola, dan digunakan untuk kepentingan masyarakat. Ini mencakup pemahaman terhadap pendapatan dan belanja negara atau daerah, pajak, utang publik, serta dampaknya terhadap kesejahteraan sosial. Dalam konteks demokrasi, literasi fiskal menjadi fondasi penting agar warga negara dapat mengawasi, mengkritisi, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan fiskal.
Kedaulatan fiskal, di sisi lain, merujuk pada kemampuan suatu daerah untuk membiayai kebutuhan pembangunan dan pelayanan publiknya secara mandiri, tanpa ketergantungan berlebihan pada dana transfer dari pemerintah pusat. Daerah yang berdaulat secara fiskal memiliki keleluasaan dalam menentukan prioritas pembangunan dan mengelola sumber daya keuangannya secara strategis.
Sayangnya, tidak semua daerah di Indonesia telah mencapai kedaulatan fiskal. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Bandung Barat. Pada tahun anggaran 2025, pemerintah pusat memangkas dana transfer ke Bandung Barat sebesar Rp300 miliar. Pemangkasan ini berdampak langsung pada kemampuan fiskal daerah, memaksa pemerintah melakukan efisiensi besar-besaran dalam belanja publik.
Sekretaris Daerah Bandung Barat, Ade Zakir, menyebut bahwa pemangkasan tersebut membuat ruang fiskal daerah menjadi sangat terbatas. Beberapa program pembangunan harus ditunda atau disesuaikan, dan pemerintah daerah harus lebih selektif dalam menentukan skala prioritas.
Meski demikian, ada upaya positif yang patut dicatat. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp31,54 miliar pada tahun 2025. Namun, peningkatan ini belum cukup untuk menutup defisit akibat berkurangnya dana dari pusat. Ketimpangan antara kebutuhan belanja dan kapasitas pendapatan daerah masih menjadi tantangan utama.
Kondisi ini menegaskan pentingnya literasi fiskal di kalangan masyarakat. Warga yang memahami struktur APBD, sumber pendapatan daerah, dan alokasi belanja publik akan lebih kritis terhadap kebijakan fiskal. Mereka juga dapat mendorong pemerintah untuk menggali potensi PAD secara berkelanjutan, misalnya melalui optimalisasi pajak daerah, retribusi, dan pengelolaan aset publik.
Namun, pengelolaan aset publik di Bandung Barat sendiri masih menghadapi hambatan struktural. Sejak pemekaran wilayah dari Kabupaten Bandung pada 2007, proses pelimpahan aset dari daerah induk ke Pemerintah Kabupaten Bandung Barat belum sepenuhnya tuntas. Komisi II DPRD KBB mencatat bahwa sejumlah aset, termasuk tanah seluas 1,7 hektar di Cilame, masih bermasalah secara administratif dan fisik. Beberapa aset tercatat di dokumen, tetapi tidak ditemukan secara nyata di lapangan.
Masalah pelimpahan aset ini turut memperlemah posisi fiskal Bandung Barat. Tanpa kepemilikan aset yang sah dan bersertifikat, pemerintah daerah kesulitan mengoptimalkan pemanfaatan aset untuk mendukung PAD. Bahkan hingga awal 2025, ribuan bidang tanah milik Pemkab Bandung Barat belum memiliki sertifikat, yang menghambat legalitas dan pemanfaatan aset tersebut.
Literasi fiskal juga memperkuat transparansi dan akuntabilitas. Ketika masyarakat memahami bagaimana uang publik digunakan, mereka akan lebih aktif mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah. Ini menciptakan ekosistem fiskal yang sehat, di mana kebijakan anggaran tidak hanya ditentukan oleh elite birokrasi, tetapi juga oleh suara publik yang terinformasi.
Dalam konteks Bandung Barat, literasi fiskal dapat menjadi alat pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) misalnya, bisa menjadi ruang partisipatif yang lebih bermakna jika warga memiliki pemahaman fiskal yang memadai.
Pemerintah daerah juga perlu membuka akses informasi anggaran secara lebih luas dan mudah dipahami. Laporan APBD, realisasi belanja, dan rencana pembangunan harus disajikan dalam format yang ramah publik, termasuk melalui media sosial dan platform digital yang mudah diakses.
Krisis fiskal yang dihadapi Bandung Barat seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi strategi pendapatan daerah. Pemerintah perlu menggandeng komunitas, akademisi, dan pelaku usaha untuk merancang kebijakan fiskal yang inklusif dan berbasis potensi lokal. Literasi fiskal harus menjadi gerakan bersama, bukan hanya agenda birokrasi.
Jika tidak ada upaya serius untuk meningkatkan kemandirian fiskal, daerah akan terus berada dalam posisi rentan. Ketergantungan pada dana pusat membuat pembangunan daerah mudah terguncang oleh dinamika kebijakan nasional. Sebaliknya, kedaulatan fiskal memberi ruang bagi inovasi, keberlanjutan, dan keadilan sosial yang lebih merata.(O'g)