Narasi,-
Hujan turun pelan, membasahi tanah di depan rumah bercat krem itu. Di ruang tamu sederhana, sepasang sepatu hitam masih tergeletak rapi. Tidak akan ada yang memakainya lagi, seorang ibu duduk terpaku menatapnya menggenggam erat baju seragam anaknya yang kini tinggal kenangan. “Kakak nggak pulang, Bu. Kakak udah tenang, ” begitu pesan terakhir yang tertinggal di meja belajarnya.
Hari itu tepat tanggal 14 Juli 2025, waktu seperti membeku.
“Aku Capek, Bu…”
Satu minggu sebelumnya, anak itu masih sempat berkonsultasi dengan psikolog yang ditunjuk oleh UPTD PPA Garut. Ia, sempat didampingi kuasa hukum. Menurut laporan, dia telah mengalami tekanan psikologis yang serius. Pihak UPTD sudah bertindak cepat, namun, takdir berkata lain.
Pihak sekolah berkata, “Belum ada tanda-tanda bullying.” Tapi siapa yang tahu isi hati seorang remaja yang diam ?, siapa yang tahu seberapa berat beban yang ditanggungnya ?
Sang ibu pernah bertanya di malam sunyi, “Kenapa kamu lebih banyak diam sekarang, Nak ?”
Dia hanya menunduk.
“Capek, Bu…” katanya pelan.
Satu Nyawa yang Terlambat Dipahami
Kematian anak itu bukan hanya soal kehilangan, ini tamparan bagi semua pihak. Psikolog Reza Indragiri, pakar forensik yang sering menangani kasus serupa, pernah berkata, “Trauma akibat kekerasan emosional tidak selalu terlihat, tapi dampaknya bisa sangat dalam dan mematikan (5 Oktober 2022).
Artinya, tak semua luka bisa dilihat dengan mata telanjang. Kadang, luka itu justru menganga di dalam jiwa. Ketika kita sibuk mencari “bukti”, mereka telah memilih pergi. Satu langkah, lebih cepat dari pertolongan.
”Kami Sudah Berusaha…”
“Sudah kami dampingi, sudah kami beri layanan konseling dan hukum. "Kata petugas UPTD.
Namun ketika kabar duka datang, semua jadi sunyi. Pernyataan itu tak lagi cukup menenangkan siapa pun, apalagi sang ibu. Ia, hanya bisa memeluk seragam anaknya yang wangi sabun itu.
Lalu publik bertanya :
Apakah benar tidak ada yang bisa dilakukan lebih cepat ?, mengapa anak itu masih memilih jalan yang paling sunyi ?
Ini bukan kasus pertama dan tampaknya bukan yang terakhir, sistem yang kita bangun hari ini seringkali lebih sibuk membuat pernyataan daripada mendengar jeritan kecil yang nyaris tak terdengar.
Ketika satu anak pergi, kita gelar konferensi pers. Ketika dua anak trauma, kita bentuk tim investigasi. Tapi ketika seratus anak menangis dalam diam, kita bahkan tak sadar mereka terluka.
Anak - anak hari ini tumbuh dalam lingkungan yang memberikan kebebasan, tapi tidak arahan. Dibebaskan berpendapat, tapi tidak diajarkan bagaimana bertanggung jawab atas kata - kata. Sementara dunia maya, terus jadi ladang perundungan yang tak bisa ditertibkan.
Rasulullah Saw., pernah Menangis Karena Seorang Anak. "Pada saat itu, bahwa Rasulullah Saw., pernah menangis saat melihat anak kecil menangis kehilangan burung peliharaannya. Bayangkan… burung,.
Hari ini, seorang anak manusia benar - benar pergi dan kita hanya bisa berkata, “Kami belum menemukan bukti.”
Dalam Islam, bahwa Rasulullah Saw., bersabda. “Tidak boleh, menyakiti sesama Muslim dengan lisan maupun tangan.” (HR. Muslim).
Khulafaur Rasyidin, bahkan mendirikan lembaga pengaduan langsung untuk rakyat kecil. Satu aduan rakyat, satu tanggapan langsung dari pemimpin.
Sistem Islam tidak menunggu nyawa melayang untuk bertindak, ia membentuk masyarakat berbasis iman dan tanggung jawab. Dimana guru menjadi pendidik ruhani, bukan sekadar pengisi absen. Dimana negara hadir sebelum luka membesar !,
Nak, Jika Kau Masih Ada…
Jika kau masih hidup hari ini, mungkin Ibumu sedang menyiapkan bekal sekolahmu.
Mungkin kau sedang mempersiapkan mimpi menjadi arsitek, dokter atau bahkan penulis. Tapi takdir berkata lain !,
Kami kehilanganmu, tapi kami berjanji, kami tidak akan kehilangan anak - anak lain. Kami akan terus bersuara, agar sistem ini berubah !, agar tak ada lagi yang memilih jalanmu.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala S. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi).